Selasa, 09 Desember 2014

Kebijakan Impor Kapal VS Perkembangan Galangan Kapal Nasional

Oleh: Alyuan Dasira
Dabo Singkep, Kepulauan Riau

Sebagai Negara kepulauan, Indonesia terdiri dari beribu ribu pulau yang dipisahkan oleh lautan. Konektivitas atau hubungan antar pulau menjadi bagian penting untuk menentukan pertumbuhan ekonomi Negara kepulauan. Konektivitas melalui jalur maritim adalah aktor utama yang mengambil peran penting dalam mengatur lalu lintas barang barang. Rendahnya konektivitas antar pulau melalui jalur maritim menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Hal ini dikarenakan perputaran barang dan jasa menjadi tidak efisien dan menyebabkan tingginya biaya logistik yang berefek domino pada mahalnya barang barang. Untuk menanggulangi masalah ini sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan INPRES Nomor 26 Tahun 2013 tentang Sistem Logistik Nasional (Sislognas) namun sayangnya sistem ini berjalan lambat. Ditambah lagi, sistem transportasi laut memegang peranan penting dalam sislognas, berdasarkan hasil survey yang dikeluarkan oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) bahwa kontribusi strategis moda transportasi laut dalam perdagangan dunia mencapai 77%, sedangkan moda transportasi udara sebesar 0,3%, transportasi darat sebesar 16%, serta perpipaan 6,7%. Data diatas jelas menunjukkan bahwa sektor transportasi laut menjadi penopang utama dalam sistem logistik dunia. 
 Gambar Pulau-Pulau di Indonesia yang membutuhkan konektivitas (source: mytunasbangsa.wordpress.com)

Untuk mempelancar konektivitas antar pulau, membangun moda transportasi laut yang efisien adalah kuncinya. Konektivitas berbasis maritim memerlukan kapal kapal yang mempunyai pola operasional yang optimal, dengan mempertimbangkan biaya operasional yang murah dan mampu melayani demand dengan tepat waktu. Short sea shipping adalah pola yang paling tepat dan perlu dioptimalkan, mengingat jarak antar pulau di Indonesia yang dekat. Selain itu short sea shipping untuk Negara kepulauan seperti Indonesia membutuhkan armada armada kapal yang relative draftnya kecil, mengingat masih terbatasnya kedalaman laut dan akses ke pelabuhan pelabuhan yang ada di pulau pulau. Tipe yang cocok untuk melayani adalah tipe kapal yang relative kecil dan mempunyai kemampuan maneuver yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan untuk mengimpor kapal dengan kapasitas 3500-5000 dwt dari China dan Myanmar. Kapal kapal yang rencana akan diimpor adalah kapal yang nantinya digunakan untuk mendukung distribusi logistik seperti gas elpiji, BBM, Semen, ternak, dan produk produk makanan. Oleh karena itu, Wakil Ketua Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog  mengatakan bahwa Indonesia siap mengimpor 2500 kapal yang mana ditargetkan akan tercapai dalam 5 tahun kedepan yang artinya setiap tahunnya kita Impor sekitar 500 kapal

Pemerintah berdalih mengimpor kapal tersebut dengan alasan bahwa galangan dalam negeri tidak mampu membangun kapal kapasitas tersebut. Impor kapal ini disinyalir akan mampu menekan biaya logistik di Indonesia sebesar 15%. Kebijakan impor kapal ini direncanakan pada era Presiden SBY akan tetapi recana itu ditolak oleh kementrian perindustrian pada waktu itu, dan era pemerintahan saat ini program tersebut mulai dijalankan. Sebenarnya Apakah galangan dalam negeri memang tidak sanggup membangun spesifikasi kapal tersebut ataukah ada unsur politis dalam penentuan kebijakan ini?

Kemampuan galangan kapal dalam negeri sebenarnya sudah mampu untuk membangun kapal 3500-5000 dwt, sebagai gambaran kapal kapasitas tersebut rata rata mempunyai ukuran panjang keseluruhan (LOA) 75-100 meteran. Saat ini Indonesia mempunyai sebanyak 198 galangan kapal. 110 galangan kapal terdapat di pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau sedangkan sisanya tersebar di luar pulau Batam. 4 galangan diantaranya terdapat galangan besar punya pemerintah yaitu PT. Industri Kapal Indonesia (IKI) di Makassar, PT. Dok Kodja Bahari (DKB) di Jakarta, PT. PAL di Surabaya dan PT. Dok Perkapalan Surabaya (DPS) di Surabaya. Jadi kalau dijumlahkan ada sekitar 200 galangan kapal nasional. Jika kebutuhan pertahun 500 buah kapal, dengan rata rata produksi kapal 1 unitnya memerlukan waktu 1 tahun, maka kebutuhan 500 unit kapal pertahun sangat mungkin bisa terpenuhi. Kemampuan galangan kapal rata rata mampu membangun kapal lebih dari satu unit pertahunnya. Sejauh ini, Industri kapal nasional bisa membangun kapal- kapal jenis tanker berkapasitas 30.000 LDWT dan kapal Anchor handling Tug dan supply (AHTS), crew boat allumunium dan memiliki fasilitas maintenance atau reparasi graving dock hingga 150.000 dwt. Dari data dilapangan, Kodja saat ini saja mampu untuk membangun kapal sampai 50.000 DWT, jadi sebenarnya kemampuan galangan nasional sudah mampu untuk sekedar membangun kapal kapasitas 3500-5000 dwt, Bahkan galangan kapal di Batam mampu reparasi sampai kapasitas 100.000 GT. Data ini membantah bahwa paradigm galangan kapal nasional tidak mampu dan sebaliknya tentu ini akan membangun citra negatif terhadap kemampuan galangan kapal nasional.
Gambar salah satu fasilitas graving (kapasitas mencapai 50.000 DWT) di dock PT. PAL Surabaya (Source: www.pal.co.id

Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam menyatakan Bukan persoalan ketidakmampuan membangun kapal, tetapi insentif pemerintah terhadap sektor usaha ini masih kurang dibandingkan Negara Negara tetangga. Dengan tidaknya adanya insentif dari pemerintah akan menyebabkan rendahnya daya saing harga kapal produksi dalam negeri dibandingkan dengan luar negeri. Sebagai referensi biaya pembuatan kapal di China lebih rendah 17.5 persen dibandingkan Indonesia. Hal inilah yang mendorong perusahaan pelayaran nasional sebagai konsumen produk perkapalan untuk membeli kapal Impor dari luar negeri. Ditambah lagi pemerintah membebaskan PPN bagi impor kapal asing untuk keperluan pelayaran nasional. Hal ini mengakibatkan rendahnya daya saing dalam hal biaya dari produk galangan dalam negeri. Kebijakan ini sebenarnya secara tidak langsung menghambat pertumbuhan galangan kapal dalam negeri karena menyumbat kran masuk proyek proyek pembuatan kapal pada galangan kapal nasional.
Gambar salah satu galangan di Tanjung Sengkuang, Batam (Source: Dokumentasi Pribadi)


Tingginya biaya produksi kapal di Indonesia diakibatkan oleh kebijakan fiskal dan moneter yang sangat memberatkan pelaku usaha galangan kapal. Untuk membangun kapal, pihak galangan kapal harus membayar biaya impor material dan peralatan sebesar PPN 10%, tentunya ini akan berpengaruh pada mahalnya harga kapal yang diproduksi. Kebijakan penghapusan PPN ini saat ini telah dinikmati di galangan pulau Batam, sehingga boleh dikatakan galangan kapal di Batam lebih kompetitif. Batam yang mempunyai otorita khusus, mendapatkan angin segar jika pemerintah mengurungkan niatnya untuk mengimpor kapal dari China. Seperti kita ketahui bahwa saat ini pulau Batam memiliki 180 galangan kapal yang telah berpengalaman membangun kapal dan ditopang lagi kebijakan free PPN untuk setiap impor material dan machinery kapal. Sehingga bisa dipastikan biaya produksi kapal di Batam lebih rendah dibandingkan dengan di tempat lain sehingga mampu bersaing dengan kapal kapal impor. Setidaknya batam bisa menjadi rujukan pemerintah dalam menentukan pola pengembangan galangan kapal di seluruh Indonesia. Dengan mengurungkan niat untuk memesan kapal impor dari China dan mengalihkannya ke galangan dalam negeri, selain membuka lapangan kerja juga mempercepat perkembangan galangan kapal nasional. Saat ini yang dibutuhkan adalah keinginan pemerintah untuk berpihak dan memikirkan perkembangan industri dalam negeri jangka panjang dengan berani mengambil kebijakan yang pro industri galangan kapal nasional.







Senin, 24 November 2014

Solusi Kenaikan BBM bagi Nelayan Pesisir (Kepulauan Riau)

Oleh Alyuan Dasira

Per tanggal 18 oktober 2014 pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi sebanyak Rp 2.000,-, BBM jenis bensin yang semula harganya Rp. 6.500,- menjadi Rp. 8.500’- dan solar harganya menjadi Rp. 7.500,-. Menurut Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto, kenaikan tersebut dapat memicu naiknya inflasi. Berkaca pada pengalaman pemerintahan presiden SBY sebelumnya, kenaikan BBM ini berakibat pada meningkatnya angka kemiskinan, karena tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan.

Inflasi ini ditandai dengan naiknya harga makanan pokok, jasa, transportasi, dan hampir semua aspek secara kontinu. Naiknya harga harga barang ini akan sangat berdampak besar pada masyarakat pesisir. Jika di Jakarta atau kota kota besar harga sembako diperkirakan naik sekitar 30% maka di daerah daerah naiknya sembako tentunya akan lebih besar lagi. Mengingat pola distribusi dan akses logistik untuk masyarakat daerah membutuhkan biaya lebih. Apalagi daerah yang letak geografisnya tidak strategis dalam pola alur distribusi logistik, seperti daerah pesisir yang ada di Provinsi Kepulauan Riau. Tentunya efek kenaikan BBM ini menjadi momok yang sangat menakutkan.

Di daerah pesisir yang notaben penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, kenaikan harga BBM sangat memberatkan, ditambah lagi susahnya untuk mendapatkan pasokan BBM. Untuk melaut saja, mereka harus meronggoh uang lebih dari biasanya dan itupun belum ada jaminan hasil tangkapan ikan yang didapat lebih banyak dari sebelumnya. Menaikkan harga jual ikan adalah solusi praktisnya. Akan tetapi, nelayan tidak bisa menaikkan harga jual yang cukup tinggi untuk memenuhi biaya operasionalnya, mengingat adanya mekanisme pasar dan ditambah lagi adanya tengkulak yang nakal. Disisi lain, nelayan harus menanggung beban lebih besar dengan naiknya harga barang pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagai memakan buah simalakama, tidak ada pilihan lain bagi nelayan. Jika tidak melaut pekerjaan tidak ada, jika melaut nelayan harus menanggung resiko rugi jika hasil tangkapannya tidak memenuhi target.

Gambar 1. Perahu Nelayan Kepulauan Riau


Kembali ke akar permasalahan ini yaitu naiknya harga BBM, maka langkah terbaik adalah kita mencari solusi untuk menekan biaya operasional yang berkaitan dengan meningkatnya harga BBM. Salah satu solusi yang bisa digunakan untuk menekan biaya operasional nelayan adalah efisiensi penggunaan bahan bakar untuk perahu motor nelayan. Secara garis besar efisiensi dalam kontek ini diartikan sebagai perbandingan antara luaran yang dihasilkan (pendapatan) per modal biaya melaut, artinya semakin banyak uang yang dihasilkan dari menjual ikan dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk melaut maka semakin besar nilai efisiensinya. Dalam hal ini, Nelayan tidak bisa berbuat banyak dalam mengatur luaran (pendapatan) karena telah diatur oleh mekanisme pasar dan ketersediaan ikan yang semakin hari semakin berkurang. Berkurangnya ketersediaan ikan dipengaruhi oleh pola penangkapan yang tidak memperhatikan pelestarian serta ditambah lagi adanya pencurian ikan (Ilegal fishing) oleh nelayan asing.

Celah yang bisa dimanfaatkan untuk tetap dapat meningkatkan efisiensi nelayan adalah dengan menekan biaya operasional semaksimal mungkin. Efisiensi penggunaan bahan bakar kapal motor nelayan adalah faktor kuncinya.

Jika merujuk pada ilmu keteknikan bidang Perkapalan, efisiensi kapal dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain desain kapal, pola pengoperasian kapal (operator), dan faktor lingkungan seperti cuaca, kondisi gelombang, dan lain lain. Faktor faktor ini jugalah yang menentukan tinggi rendahnya efisiensi perahu nelayan. Selama ini nelayan membuat perahu dan memilih motornya by tradisi dan intuisi. Nelayan secara turun temurun membuat kapal hanya berpatokan pada perahu sebelumnya yang sudah dibuat tanpa mengetahui nilai efisiensi perahunya. Padahal pembuatan perahu dan pemakaian motor serta pemilihan jenis penggeraknya (Baling baling) merupakan satu kesatuan sistem untuk menentukan baik tidaknya efisiensi perahu motor tersebut. 
Gamabr 2. Perahu Motor Nelayan Dabo Singkep yang dibuat secara tradisi


Dalam satu penelitian ilmiah oleh J.M Lauren dan Alyuan D (2014) yang dipublikasikan di 3th Internasional Simposium on Fishing Vessel Energy Efficiency di Vigo, Spanyol, mendapatkan kesimpulan bahwa dengan pemilihan sistem penggerak yang tepat dengan pola pengoperasian kapalnya dapat meningkatkan efisiensi sebesar 13%. Artinya biaya operasional bisa dihemat hampir 13% dari biaya normal melaut sehari hari.

Nelayan memang tidak mempunyai keahlian khusus dalam mengevaluasi efisiensi perahu motornya secara ideal hanya berdasarkan data visual. Tetapi sebagai celah untuk menekankan efek naiknya harga BBM ditanah air ini, sudah selayaknya pemerintah pusat dan daerah bersinergi untuk memecahkan masalah ini dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan tepat guna. Permasalahan ini adalah tanggung jawab bersama. Adapun sebagai langkah konkret untuk memecahkan masalah ini ada beberapa peran yang bisa diambil untuk masing masing stakeholder, antara lain:

1.      Peran Dinas Kelautan dan Perikanan

Peran Dinas Kelautan dan Perikanan daerah adalah memberikan penyuluhan kepada nelayan tentang bagaimana pentingnya efisiensi kapal nelayan untuk menekan biaya operasionalnya. Dinas ini bisa bekerjasama dengan akademisi akademisi lokal maupun akademisi dari kampus kampus yang fokus di bidang Perkapalan untuk mengkaji permasalahan dalam hal teknis dalam pembuatan dan pengoperasian perahu nelayan. Hasil kajian ini bisa dikemas dalam suatu guidance atau panduan praktis yang mudah dipahami oleh masyarakat nelayan dan tentunya mudah diaplikasikan. Tentunya monitoring oleh petugas dinas yang ditunjuk sangat diperlukan untuk menjamin penerapan pembekalan dan penyuluhan ini. Dinas Kelautan dan Perikanan mengambil peran sebagai mediator antara akademisi dan nelayan serta sebagai mentor dalam pelaksanaan kegiatan.

2.      Peran Akademisi Kampus 

Akademisi berperan dalam mengkaji dan mengemas hasil penelitiannya menjadi suatu kemasan praktis yang akan disampaikan di masyarakat nelayan melalui mediator dinas kelautan dan perikanan. Bagi akademisi ini menjadi media untuk menjalankan fungsinya sebagai civitas tridharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Sehingga penelitian yang dilakukan lebih tepat guna dan bermanfaat serta bisa menjadi pemacu untuk pengembangan penelitian yang berkelanjutan. Terutama penelitian mengenai pengembangan efisiensi perahu motor nelayan, pengembangan alternative bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan, serta penelitian renewable energy sebagai project skala kecil untuk masyarakat nelayan.    


Gambar 3. Baling Baling bersirip hasil Inovasi Dosen Teknik sistem perkapalan ITS Surabaya


3.      Peran Masyarakat nelayan       

Masyarakat nelayan disini berperan sebagai eksekutor sekaligus sebagai objek pada penerapan kebijakan untuk memecahkan permasalahan. Masyarakat hendaknya berperan proaktif dalam menyerap masukan masukan yang telah dikemas dalam guidance atau panduan praktis dalam membangun perahu nelayan, pemilihan mesin dan penggerak, serta pola pengoperasiannya sehingga pemecahan permasalahan tepat sasaran dan tidak membuang waktu dan energi.



Nelayan tidak bisa menghindar dari dampak naiknya harga BBM yang signifikan ini. Namun demikian, ada celah untuk nelayan bisa menekan tingginya biaya operasional karena dampak dari kenaikan BBM ini, yaitu dengan meningkatkan efisiensi perahu motor nelayan. Pemerintah daerah hendaknya menjemput permsalahan yang ada dilapangan langsung, mengingat sebagian besar masyarakat pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan. Kenaikan BBM ini menjadi pukulan telak ekonomi masyarakat pesisir jika tidak diimbangi dengan pemasukan pendapatan yang mampu menopang efek domino ini. Dengan adanya solusi yang sistematis dan berjangka panjang, penguatan ekonomi masyarakat pesisir akan mulai terbentuk. Dengan kata lain efisiensi adalah solusinya.      

Salam,
Alyuan Dasira
   

Kamis, 20 November 2014

Potensi Pengembangan Kampus Maritim di Kepulauan Riau

Oleh : Alyuan Dasira 
Dabo Singkep

              Salah satu kementerian baru yang saat ini disorot oleh masyarakat adalah menteri koordinasi Kemaritiman. Mengingat adanya kementerian ini merupakan representasi dari visi kemaritiman yang gembor dikemukakan Jokowi-JK saat masa kampanye. Visi maritim ini secara umum dapat dengan jelas ditangkap arah dan tujuan yang ingin dicapai, yaitu menjadikan  maritim sebagai sumber kekuatan utama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Untuk mendukung visi kemaritiman ini, maka dibutuhkan SDM-SDM yang handal dan berwawasan maritim. Tentunya SDM ini tidak datang dengan sendirinya, butuh proses panjang. Untuk mempersiapkan SDM yang handal dan berwawasan maritim, perlu adanya sinergi antara lembaga pendidikan seperti Perguruan Tinggi, sekolah menengah dan lembaga lainnya yang sama sama membawa visi kemaritiman. Lembaga lembaga ini hendaknya saling terintegrasi sehingga menciptakan linearisasi pendidikan berwawasan maritim. SDM-SDM yang ditelurkan dari sistem pendidikan yang linear dan berwawasan maritim inilah yang akan menjadi agent of change. Sebagai agent, SDM ini bertugas sebagai pondasi negara untuk membawa dan mengarahkan masa depan demi tercapainya kesejahteraan dengan memanfaatkan potensi maritim secara maksimal.         

               Tidak banyak Universitas atau Perguruan Tinggi yang mempunyai visi yang jelas tentang maritim di Indonesia. Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) adalah salah satunya. Visi menjadi universitas terkemuka di Indonesia berbasis kemaritiman memperkuat jati diri UMRAH sebagai kampus maritim. UMRAH adalah universitas satu satunya negeri dan juga sebagai ikon pendidikan dan kebanggan bagi masyarakat provinsi Kepulauan Riau. Universitas ini berdiri sejak tahun 2007 di bawah payung hukum SK Mendiknas No 124/D/O/2007  di Tanjung Pinang, Ibu Kota Provinsi Kepri. Melihat dari letak geografis Kepulauan Riau yang terdiri dari sebagian besar laut (hampir 96% laut) dan terdiri dari pulau pulau serta berbatasan dengan Negara tetangga Malaysia dan Singapura (alur pelayaran internasional), pembangunan UMRAH yang berbasis maritim sangat tepat. UMRAH sudah seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembangunan SDM maritim bagi masyarakat Kepulauan Riau secara khusus dan Indonesia.


Gambar1. Kampus UMRAH Tanjung Pinang

           Jadi tidak salah jika kita berharap UMRAH menjadi « Institute of change » bagi masyarakat di Kepulauan Riau dalam menghadapi tantangan era globalisasi. Terlebih lagi tahun depan, tahun 2015 akan dilaksanakannya AEC (Asean Economic Community) dimana ditandainya dengan terbukanya perdagangan barang, Jasa, Investasi, modal dan tenaga kerja antara Negara Asia Tenggara. Sebagai Institute of Change, UMRAH berperan sebagai ujung tombak untuk mencetak sarjana sarjana yang handal dan berwawasan maritim yang mampu sebagai benteng pertahanan dalam AEC ini. Ini merupakan tugas dari segenap civitas UMRAH dibawah nakhkoda Bapak Rektor dan tentunya dukungan masyarakat Kepulauan Riau.

          Pengembangan UMRAH yang lebih mengedepankan konsep pemanfaatan potensi kemaritiman daerah mutlak diperlukan untuk proses akselerasi pembangunan manusia yang berwawasan maritim. Jika kita merujuk kepada kampus kampus maritim dunia, seperti World Maritime University (WMU), yang berada di Swedia, Shanghai Maritime University (SMU) di China, Indian Maritime University (IMU) di India dan Myanmar Maritime University yang berada di negara Asia Tenggara, Myanmar, kita dapat mengambil garis besar apa yang menjadi fokus bidang pengembangan pada kampus maritim tersebut. Secara umum fokus universitas maritim tersebut ialah pada pengembangan bidang teknologi perkapalan, managemen pelabuhan, hukum kelautan, logistik dan transportasi laut, managemen pelayaran, dan energi maritim. Dari rujukan ini, jelas dapat dilihat bahwa kampus kampus maritim di dunia fokus pada pengembangan keilmuaan khusus di bidang maritim secara terintegrasi dan menyeluruh. Ini bisa dijadikan bahan referensi untuk pengembangan UMRAH sebagai kampus yang berbasis kemaritiman terintegrasi dan menyeluruh.
Gambar 2. Kampus Maritim World Maritime University (Swedia)

Gambar 3. Shanghai Maritime University, China

            Menurut Prof Magakiansar dan Prof Usman Pelly (1975), Pola pengembangan universitas berbasis kemaritiman itu sendiri harus sesuai dengan pola ALKI (Alur Lintas Kepulauan Indonesia). Seperti ALKI Laut China Selatan–Selat Sunda, Jalur ALKI Selat Makassar–ke Selat Lombak Nusa Tenggara dan jalur ALKI Kawasan Timur dari Laut Halmahera–Laut Banda dan Selat Ombai (NTT). Dari pengembangan inilah muncul muncul kampus yang memiliki dasar dasar pengembangan ilmu kemaritiman di Indonesia.


Gambar 4. ALKI Indonesia

          Di Indonesia sendiri kampus kampus yang memiliki karakter kuat maritim tidak cukup banyak dan tidak menyeluruh. Tidak menyeluruh artinya pembangunan hanya terkotak kotak pada salah satu bidang kemaritiman saja. Institut teknologi sepuluh nopember atau yang lebih dikenal dengan ITS Surabaya, yang fokus pada pengembangan Teknologi kelautannya, Universitas pattimura, Universitas Hassanuddin, Undip, serta ITB dibidang kelautannya dan UI. Sebagai referensi Kampus World maritime University (WMU) yang berada di swedia, kampus ini mempunyai bidang studi yang hampir komplit di bidang kemaritiman dan tidak fokus hanya pada satu bidang bagian maritim. Mereka mempunyai bidang studi dan pengembangan di Marine Environmental Management, Maritime Administration: Law, Policy & Security, Shipping & Port Management, Maritime Technology & Education, Maritime Risk & System Safety, Maritime Energy. Ini bukan hal yang mustahil jika di Indonesia  khususnya Kepri mempunyai kampus maritim seperti WMU dan menjadi rujukan dunia mengingat Indonesia adalah negara Maritim yang sangat besar. Belum adanya kampus maritim di Indonesia yang mengembangan pusat studi kemaritiman secara menyeluruh menberikan UMRAH kesempatan menunjukkan dirinya sebagai calon kampus maritim yang membawa visi kemaritiman secara menyeluruh di Indonesia.      

Gambar 5. Salah satu penelitian di Lab Kampus WMU

           Terlepas dari hal ini, langkah UMRAH yang membawa visi kemaritiman saat ini baru memiliki Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FKIP), Fakultas inilah yang mewakili visi kemaritiman di UMRAH. Namun ini patut di apresiasi sebagai langkah maju untuk membangun kampus maritim UMRAH kedepannya. Penguatan fakultas fakultas dan Pengembangan bidang studi kedepan hendaknya lebih mengarah kepada bidang bidang kemaritiman dengan pola seperti pada kampus kampus maritim rujukan. Dengan pola pembangunan kampus maritim terintegrasi yang melengkapi kampus kampus basis maritim di Indonesia yang masih terkotak kotak pada pengembangan bidang kemaritiman secara parsial. Percepatan perencanaan dan pengembangan studi kemaritiman yang terintegrasi akan berdampak pada pembangunan daerah Kepulauan Riau dan Indonesia Secara Langsung kedepannya.  

Salam, 21 November 2014

Alyuan Dasira
Masyarakat Maritim, Dabo Singkep, Kepulauan Riau
Alumni Teknik Sistem Perkapalan ITS Surabaya dan ENSTA Bretagne


Senin, 03 November 2014

Perbedaan Antara Konsep Kelautan dan Kemaritiman (Perpektif Aarah Pembangunan Indonesia)


Oleh : Alyuan Dasira 

           Belakangan nomenklatur kelautan dan kemaritiman sering disebut sebut di beberapa media massa di Indonesia, baik Televisi, media cetak maupun di media-media sosial. Memang dua istilah di atas sedang menjadi trending topik setelah beberapa saat yang lalu diumumkannya susunan kabinet kerja (Masa Bakti 2014-2019) oleh Pak Jokowi. Tentunya ada hal baru sekaligus membingungkan muncul ketika ada nomenklatur baru yaitu Menteri koordinasi Kemaritiman yang diisi oleh Bapak Indroyono Soesilo, yang diperkenalkan Bapak Jokowi sebagai pakar yang berpengalaman di bidang kelautan. Adapun dalam tugasnya, Menko ini nantinya bertugas menkoordinasi antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Pariwisata serta kementrian ESDM. Selain adanya nomenklatur Menko Kemaritiman, juga ada nomenklatur Menteri Kelautan dan Perikanan yang posisi dipercayakan kepada Ibu Susi Pudjiastuti, sang bos pemilik SUSI AIR. Untuk nomenklatur yang kedua ini tentunya tidak asing lagi untuk masyarakat Indonesia, karena dalam kabinet cabinet telah lama dikenal nomenklatur ini. Namun, tentu timbul suatu kebingungan pada masyarakat, Mengapa ada nomenklatur menteri koordinasi kemaritiman dan perikanan dan kelautan secara bersamaan? Apa beda antara kedua kementerian tersebut? Padahal secara penggunaan kata kata sehari hari sangat sulit untuk membedakan keduanya. Kadang masyarakat umum menyebut Indonesia adalah Negara kelautan dan kadang ada yang menyebutnya sebagai Negara maritim.

                                                sumber :www.anaconda-sailing.com

           Disini kita akan mengupas tentang penggunaan nomenklatur Kelautan & Kemaritiman. Jika merujuk ada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) arti kata “Kelautan” berasal dari kata “laut” yang mempunyai arti hamparan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau, sedangkan kelautan didefinisikan sebagai perihal yang berhubungan dengan laut. Dari definisi diatas pengertian kelautan lebih dapat dilihat dari segi fisikal atau bentuk fisiknya. Sedangkan Maritim dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai berkenaan dengan laut, berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan di laut. Jika dibandingkan berdasarkan definisi kamus besar bahasa Indonesia maka dapat disimpulkan bahwa kemaritiman mempunyai definisi yang tidak terfokus dari segi fisik (physical property) tetapi lebih luas lagi yaitu dengan memasukkan unsur non Fisik seperti pelayaran dan perdagangan di laut.

         Jika landasan ini yang digunakan dalam penentuan nomenklatur antara Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Menteri Kelautan dan Perikanan maka dapat disimpulkan bahwa makna pemberian nama kemaritiman ingin menyampaikan pesan yang lebih luas, yang menyangkut perhubungan lalu lintas dan perdagangan serta perlayaran dan lainnya. Nomenklatur ini lebih tepat, mengingat fungsi dari kementerian koordinasi kemaritiman yaitu mengkoordinasi 4 kementrian lainnya, yaitu Perhubungan (menyangkut dengan transportasi laut), Pariwisata (ekowisata maupun wisata pesisir), ESDM (menyangkut kekayaan energy dan sumber daya yang terkandung di laut), serta Kelautan dan Perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini kita bisa menangkap maksud dan tujuan adanya menteri Koordinasi Kemaritiman adalah untuk merangkul seluruh potensi maritim dalam satu garis koordinasi sehingga akan terciptanya sinergi yang akan mempercepat terealisasinya visi dan misi terkait kemaritiman itu sendiri.

          Terlepas dari nomenklatur yang dipilih dan kesesuainnya dengan fungsi dan garis koordinasi yang dijelaskan tadi, kita terlebih dahulu mengembalikan definisi kelautan dan kemaritiman dari sudut pandang di luar kontek penyusunan kabinet dan pemilihan nomenklatur untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih komprehensif tentang konsep Kemaritiman dan kelautan. Diplomat senior Prof Hasjim Djalal, beliau menjelaskan tentang perbedaan konsep kemaritiman dan kelautan, menurut beliau kelautan adalah fisikal, contohnya Indonesia adalah Negara kelautan karena secara fisik Indonesia adalah laut. Sedangkan maritim adalah jiwa dan pikiran yang pandai memanfaatkan laut. Pendekatan konsep ini lebih mudah dipahami pada konsep Negara Singapura. Singapura adalah Negara maritim dan bukan Negara Kelautan, mengingat Negara singapura adalah Negara yang mampu dan pandai memanfaatkan lautnya sebagai lalu lintas pelayaran internasional untuk membangun ekonomi negaranya. Sedangkan menurut pendekatan konsep ini Indonesia saat ini lebih tepat disebut sebagai Negara kelautan dan bukan Negara maritim, karena selama ini kita belum mampu sepenuhnya memanfaatkan laut secara maksimal. Selain itu, arah pengembangan yang dilakukan Negara ini bukan cerminan dari Negara yang mempunyai jiwa dan pemikiran yang pandai memanfaatkan laut secara keseluruhan dan tidak hanya memanfaatkannya secara fisiknya saja.

          Terlepas dari definisi secara harfiah maupun konseptual tentang kemaritiman atau kelautan, alangkah baiknya jika saat ini kita menyadari secara komprehensif tentang visi kemaritiman. Kita tidak usah terlalu membuang energi hanya untuk mendefinisikan kedua hal tersebut. Yang terpenting saat ini yang diperlukan adalah energi lebih untuk mencapai satu tujuan bersama yaitu tercapainya kesejahteraan masyarakat. Kita harus lebih memahami secara komprehensif bagaimana memanfaatkan potensi Indonesia sebagai Negara kelautan secara fisik menjadi sebuah Negara maritim sepenuhnya secara jiwa dan pikiran. Dengan memanfaatkan segala potensi yang ada maka pembangunan ekonomi maritim sebagai media tercapainya kesejahteraan rakyat Indonesia bukanlah hanya sebatas konsep belaka.

Tulisan Ini Juga Di terbitkan kolom Opini koran Batam Pos 30 Oktober 2014




                  

Rabu, 05 Februari 2014

STRATEGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT DABO SINGKEP Oleh: Alyuan Dasira, (Part 2, Sektor Kebudayaan Dan Pariwisata, Sektor Pertanian, Perhubungan Komunikasi Dan Informasi, Sektor Kesehatan )

Awal Kata, Saya Sadar Saya Bukanlah Apa Apa. Hanya Masyarakat Biasa Yang Hidup Dalam Sistem Ini. Tetapi Saya Sebagai Putra Yang Dilahirkan Dari Kampung Ini Tentunya Ingin Melihat Kampung ini Maju. Bukan Sekedar Maju Infrastrukturnya, Tetapi Maju Ekonominya Dan Mentalnya. Mungkin ini sedikit yang bisa saya sumbangkan.

Berikut saya lanjutkan postingan tentang ocehan strategi untuk masyarakat singkep di blog saya yang melengkapi postingan sebelumnya


salah satu icon kota Dabo
sumber://bakhtiarsyarif.blogspot.com/
·         SEKTOR KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
Objek Wisata potensial pulau Berhale
sumber: www.pelitedabo.blogspot.com
Sektor ini merupakan sektor yang potensial untuk menyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang cukup besar jika diolah dengan niat dan visi yang baik. Budaya dan pariwisata bisa dikawinkan untuk dikemas dan dijual sebagai objek wisata yang menjanjikan. Adapun beberapa strategi dalam mengolah sumber daya ini antara:

1.      Membenah diri terlebih dahulu baru lakukan sedikit promisi

Saya pernah membaca bahwa dinas pariwisata mengadakan kegiatan promosi budaya sampai ke Negara Singapura. Alangkah senangnya saya membaca berita tersebut. Sepulangnya ke kampung halaman, saya langsung pergi ke pantai salah satu objek wisata yang ada di Dabo. Apa yang saya lihat tidak sama dengan apa yang saya bayangkan ketika membaca berita tersebut.

Seharusnya kita mengevaluasi diri terlebih dahulu sebelum melakukan mempromosi yang cukup menelan biaya. Karna apa? jika kita mensosialisasikan suatu objek wisata misalnya pantai batu berdaun ke Negara Singapura, Malaysia, sementara objek  wisata yang dipromosikan tidak diperhatikan (Banyak Sampah, terjadi Abrasi, bahkan tidak ada yang mau mengurus dll), pekerjaan itu nama lainnya adalah “JALAN JALAN PROMOSI” tidak ada hasilnya. Jangankan wisatawan asing, wisatawan domestik pun enggan untuk datang, datangpun karena tidak ada pilihan lainnya. Katakalanlah promosi tersebut berhasil “MENIPU” wisatawan untuk datang pertama kalinya, tetapi untuk datang kedua kalinya mereka dibayarpun tidak mau. Bahkan sialnya lagi, kejelekan ini akan berdampak pada PROMOSI JELEK dari wisatawan ke wisatawan lainnya. Kalau seperti ini apakah efek Promosi tadi cukup efisien? Pandangan orang terhadap budaya dan keindahan itu memang bersifat relative, tetapi kalau kotor dan tak terawat itu mutlak.

2.      Kebersihan adalah Sebagian dari Promosi

Persoalan pertama adalah masalah kebersihan. Memang kadang kita melihat dilapangan solusinya adalah dengan memasang plank “Jagalah Kebersihan dan buanglah sampah pada tempatnya”. Ini sangat tidak efektik, bagaimana tidak, tempat sampahpun kadang entah kemana perginya. Inilah yang perlu kita benahi. Dengan potensi yang ada, cukup bersih saja mungkin ada nilai jualnya. Konsepnya sederhana yaitu dengan menempatkan petugas kebersihan untuk bertugas menjaga kebersihan objek setiap hari yang diawasi oleh pemerintah ataupun melalui dinas pariwisata. Jika alasannya adalah pemerintah atau dinas tidak ada uang, maka timbul pertanyaan? Uang untuk gaji tenaga honorer saja ada, yang notabenenye jumlahnya sudah lebih dari cukup ada. Berarti ada yang salah dengan sistemnya. Ya, mungkin dengan membayar petugas kebersihan dari dinasnya lebih efektif daripada hanya membayar orang kantoran untuk bekerja dalam hal ini.
Jikapun uangnya tidak cukup banyak dan menjaga efektifitas pekerjanya, maka kita harus menerapkan system baru pada pemberian gaji. Ini hanya untuk mengoptimalkan uang yang keluar dari kocek pemerintah. Sistem pemberian gaji pun berdasarkan kinerja, untuk mencegah pekerja “MALAS”. Beri uang gaji pokok, kemudian berapa banyak sampah yang dibersihkan akan dinilai untuk tunjangannya perhari, mungkin mereka akan termotivasi. Terapkan system kerja swasta. Mungkin ini hanya sekedar ide agak gila.  

Insyaallah kalau sistem sederhana seperti ini saja sudah jalan, mungkin dengan biaya tak sebanyak yang dikeluarkan untuk mempromosi ke luar negeri, hasilnya sudah dapat terlihat. Kalau pantainya bersih mungkin orang tidak ragu untuk membayar tiket masuk jika ingin berwisata. Ya, walaupun uangnya tidak banyak, tetapi ini penting untuk mendidik dan belajar mencari uang bagi pemerintah daerah. Dengan berkembangnya objek wisata dengan niat dan visi yang jelas, uang ini akan semakin berlipat.  

3.      Menbangun Konsep Sistem Objek wisata terintegrasi (Kampung Budaya dan Wisata Melayu)

Berbicara masalah wisata, maka terlebih dahulu kita harus menganalisa pola tingkah laku wisatawan dalam menghabiskan uangnya. Inilah kuncinya, bagaimana kita bisa membuat wisatawan menghabiskan uang mereka di tempat kita. Dari pengalaman, kita bisa belajar bahwa pola wisatawan dari luar adalah mereka menghabiskan waktu untuk wisata bukan hanya sementara tapi mereka menghabiskan waktu (masa liburan) yang cukup lama pada suatu tempat. Makanya tidak heran mereka untuk pergi ke Resort yang ada di lagoi, Bintan dan menetap disana sampai 2 minggu atau bahkan sepanjang musim liburnya bersama teman teman dan keluarganya. Ya, jelas saja mereka memilih resort yang ada di sana untuk itu, karena konsep wisata yang terintegrasi dengan sistem transportasi, akomodasi, budaya dan kuliner serta banyak lagi system pendukungnya.

Jika kita mempunyai visi yang baik untuk mengembangkan sektor pariwisata, kita harus memulai dengan konsep yang baik pula. Tentunya tidak “KETINGGIAN” pula untuk membangun pola pariwisata seperti konsep resort tetapi namanya sedikit berbeda yaitu “KAMPUNG BUDAYA DAN PARIWISATA MELAYU”. Salah satu daerah yang punya potensi adalah pulau Berhala. Pulau berhala bisa dijadikan objek untuk pembangunan kampung budaya dan pariwisata melayu. Pembangunan ini bisa dijadikan proyek multi-year, boleh dikatan sebagai proyek VISIONER atau proyek berjangka panjang (melibatkan beberapa masa pemerintahan). Bangunlah sedikit demi sedikit dengan visi yang jelas. Seperti kata pepatah, “sedikit demi sedikit lama lama jadi bukit”. Sedikit demi sedikit kita melengkapi apa yang kurang, tetapi tetap bereferensi pada “Green Design” yang telah dibuat. Jika konsep ini mulai dijalankan, mungkin tidak mustahil dalam 10 tahun kedepan Singkep menjadi kiblat wisatawan dari masyarakat batam, karimun maupun luar negeri seperti Singapura, Malaysia.   

Konsep KAMPUNG BUDAYA DAN PARIWISATA, yaitu membangun konsep wisata gabungan budaya dan pariwisata. Mungkin inilah potensi yang bisa kita poles. Konsepnya adalah dengan  membuat suatu kampung wisata yang terintegrasi. Misalnya, suatu kampung di Pulau Berhala tadi mempunyai wisata alam (pantai dan terumbu karang) dilengkapi dengan kuliner melayu dan dipenuhi dengan bangunan corak khas busaya melayu serta selalu diadakan event event Budaya disana (Seperti Festival fishing yang sekarang telah ada), kemudian lebih berangan lagi membuat museum sejarah budaya melayu.  

Selain pembangunan infrastruktur, kita juga harus membangun mental budaya untuk masyarakat di pulau berhala. Secara tidak langsung, merekalah nantinya yang menjadi tuan rumah dari kampung budaya dan pariwisata di pulau Berhala. Untuk itu, perlulah melakukan penyuluhan kepada masyarakat setempat untuk mempersiapkan diri menjadi pulau wisata, dengan menjaga kelestarian lingkungan, menjaga ekosistem laut maupun memberikan pelatihan pengolahan untuk pembuatan cendera mata.

Bapak bapak setiap kepala keluarga didorong untuk membuat pancang pancang ikan di laut (tempat ikan berkumpul) untuk dijadikan tempat wisata pemancingan ikan. Selain itu juga membuat boat boat (kapal kapal kecil) yang dipersiapkan untuk membawa wisatawan pergi memancing. Jika sistem ini sudah mulai dibangun, maka sedikit demi sedikit BERHALA bisa disulap menjadi tempat wisatawan terkenal, terutama dengan potensi wisata Fishingnya saja.

Kemudian setelah sistem akomodasi dan transportasinya sudah tersedia, saatnya bagian promosi memainkan peran. Sistem promosi yang efisien adalah dengan membelanjakan uang daerah untuk pembangunan daerah sekaligus mempromosikan diri (Optimasi Anggaran). Contoh sederhananya adalah dengan mengadakan Berhala Festival Fishing, Event Hari budaya melayu, RAKER (rapat kerja) orang orang dinas di pulau berhala, maupun event event lainnya. Selain memang membelanjakan duit daerah untuk kegiatan tersebut, tetapi ini memberikan efek pada perkembangan daerah pariwisata ini.  

Jika pariwisata ini dikemas dengan paket paket wisata lainnya, maka semakin menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan untuk menghabiskan waktu berliburnya di pulau berhala. Paket yang ditawarkan bisa wisata memancing dengan menyediakan peralatan mancing dan kapal beserta guide dan tempat pemancingan (kelong kelong atau pancang pancang tadi), menyediakan tempat dan alat untuk melihat keindahan alam bawah laut (Snorkling), wisata ke museum melayu, kuliner makanan melayu dan dilengkapi dengan budaya melayu yang kental dari rumah rumah adat melayu yang dibangun sebagai akomodasi. Lengkap sudahlah kampung budaya dan wisata ini.

Saya yakin ini konsep ini akan mempunyai dampak yang signifikan yang terus menerus dan menghasilkan banyak uang daripada hanya membuat program wisata yang “ala kadarnya”, tidak memikirkan secara visioner dan integral pada sektor lainnya. Dan hebatnya lagi potensi PAD yang didapat melebihi dari PAD dari pembukaan lahan tambang yang merusak ekosistem lingkungan.

4.      Konsep pembangunan infrastruktur daerah yang berbasiskan Budaya daerah (Komplek Perkantoran MELAYU)

Kata kuncinya adalah OPTIMASI PEMBANGUNAN dan ANGGARAN. Selama ini kita hanya berpikir “IN THE BOX”. Masalah utamanya adalah bagaimana dengan uang yang ada kita harus mengoptimasikan pembangunan?. Itulah yang saat ini harus benar benar kita pahami, memutar otak untuk menyelesaikannya, bukan memutar otak untuk mendapatkan proyeknya. Salah satu ide yang terlintas dalam pikiran saya adalah membangun infrastruktur seperti gedung bupati/komplek perkantoran daerah (STUDI KASUS: Komplek BUPATI, DAEK LINGGA) dengan corak bangunan khas melayu.

Tidak perlulah kita membuat gedung megah untuk sang pemimpin kita dan para kepala dinas serta PNSnya. Mereka bekerja untuk melayani masyarakat bukan masyarakat yang melayani mereka. Untuk melayani rakyat tidak butuh gedung megah, tetapi pelayanan yang melayani dengan sepenuh hatilah yang di dambakan oleh rakyat. Yang perlu diperbaiki adalah system “Melayani” masyarakat bukan infrastrukturnya. Jika pembangunan infrastruktur tidak bisa dihindarkan artinya memang benar benar butuh , maka kita perlu mengoptimalkan anggaran belanja untuk pembangunan seoptimal mungkin yang mana mempunyai double efek sekaligus.

Ibaratkan seperti pepatah ini, “Jika Nasi Telah Menjadi Bubur, Maka Butuh Sedikit Garam Untuk Menikmatinya”. Begitu juga dengan pembangunan infrastruktur untuk pemerintahan. Kita sadar kita tidak punya uang banyak, selama ini kita hanya mengemis pada dana dari pemerintah pusat.

Adapun sebagai solusinya saya mempunyai ide (angan angan) pembagunan infrastruktur (gedung pemerintahan dengan konsep bagunan khas melayu, dan bukan membangun infrastruktur dengan konsep modern. Kata kuncinya adalah “back to tradisi”. Karena inilah yang kita punya dan bisa kita jual. Akan banyak manfaat yang bisa kita peroleh apabila kita konsisten dalam pembangunan ini. Bukan pembangunan infrastruktur aja yang kita dapat tetapi “PEMBANGUNAN BUDAYA” kita akan rasakan sebagai bonusnya. Pembangunan gedung gedung yang bercorak khas melayu mendukung sektor pariwisata kita. Selain menguatkan karakteristik melayu pada kampung kita, ini juga yang bisa kita jual. 

Tentunya banyak wisatawan yang akan mengunjungi pusat perkantoran Pemerintahan/kedinasan  Ini tentunya akan menopang konsep sistem pariwisata terintegrasi yang telah menjadi visi kita bersama. Inilah yang saya namakan dengan konsep OPTIMASI PEMBANGUNAN. Tempat ini bisa dikunjungi dan menjadi paket wisata. Konsep inilah yang telah kuat kalau kita melihat di Negara negara di Eropa.

·         SEKTOR PERTANIAN


             1. Karet (Pokok Getah) adalah sektor potensial untuk masyarakat Dabo

Sektor pertanian merupakan sektor yang bisa diandalkan masyarakat selain sektor perikanan. Daerah kita mempunyai potensi untuk tanaman karet (pokok getah). Saat ini telah banyak masyarakat menanam pohon karet. Baik sebagai investasi maupun sebagai sumber mata pencaharian utamanya. Inilah yang patut kita syukuri dan kita manfaatkan semaksimal mungkin. Kegiatan bercocok tanam pohon karet ini telah berlangsung lama dari mungkin nenek moyang masyarakat singkep sendiri. Permasalahannya sekarang adalah karet yang dihasilkan secara tradisional masyarakat dabo mempunyai nilai jual yang rendah. Mengapa? Karena karet yang dihasilkan oleh petani karet langsung ditampung ke penampung kemudian dijual ke Jambi dengan bahan mentah (belum diolah). Dengan adanya sistem seperti ini, maka harga beli karet dari petani oleh sang penampung sangat murah. Belum lagi terpengaruh oleh musim. Jika musim hujan maka petani tidak bisa menorah getahnya.  

Nah, di sinilah peluang dari pemerintah maupun pihak swasta untuk memanfaatkan celah ini untuk membuat usaha dan sekaligus membantu petani karet meningkatkan harga getah. Pemerintah sangat mungkin untuk membuat BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) untuk membangun pabrik pengolahan karet di Dabo Singkep. Dengan mempertimbangkan factor kontinuitas dari ketersediaan karet dan bibit pohon karet yang sekarang menuju masa untuk di panen (Ditoreh).Tidak perlulah membuat pabrik skala besar, cukup kecil asalkan kontinu. Tentunya usaha ini sebelum dilakukan perlu dilakukan kajian feasibilitasnya (uji kelayakan).
Dengan adanya pabrik pengolahan karet ini, saya yakin setidaknya akan memicu pertumbuhan ekonomi di Pulau dabo sendiri. Lapangan kerja akan bertambah, dan harga beli karet dari petani karet akan meningkat (Hal ini karena kita memotong sistem distribusi bahan mentah dengan menggantikannya dengan ditribusi bahan setengah jadi). Saya rasa ini lebih mempunyai arti PEMBANGUNAN daripada hanya membangun jalan BESAR, yang hanya dinikmati oleh orang orang berduit yang mempunyai MOBIL di Pulau singkep. Selama ini kita terpaku pada konsep “adanya infrastruktur maka ekonomi akan maju”, saya rasa tidak tepat untuk daerah kita saat ini. Yang Kita butuhkan pembangunan EKONOMInya Bukan Infrastrukturnya. Jika ekonomi berjalan, Tidak sulit untuk membuat jalan (Infrastruktur). Selama ini yang kita rasakan adalah pembangunan SEMU (pembangunan infrastruktur). Ibaratnya “Membeli HP yang canggih, Tetapi hanya menggunakannya untuk SMS dan Menelpon + social media” Kita tidak butuh prestige (gengsi) saat ini. Prestige hanya dikonsumsi oleh kota yang kaya.

2.      Potensi lainnya (Sawit, Kelapa, dan Sahang/Lada) 

Selain perkebunan pohon karet yang memang saat ini telah mencari sumber mata pencaharian masyarakat. Tentu kita perlu mengkaji lagi tanaman tanaman yang bisa dikembangkan sebagai mata pencaharian baru masyarakat kita. Saat ini sudah coba dikembangkan (katanya dalam tahap uji coba) yaitu perkebunan sawit, yang terdapat pada jalan menuju ke desa Resang. Memang secara awam(karena saya tidak tahu detailnya) saya memandangnya perkebunan tersebut sangat subur dan siap untuk dipanen. Jika benar sawit juga berpotensi di singkep, mengapa tidak dipikirkan untuk kedepannya. Alur logika berpikirnya sederhana, bagaimana cara menanamnya?, bagaimana cara merawatnya? Dan yang terakhir, bagaimana untuk memanen/menjualnya?. Okelah kalau sekarang yang dilapangan secara kasat mata terlihat cocok berarti pertanyaan 1 dan 2 sudah terjawab. Tinggal butuh pengembangan dari putra putri kita yang mempunyai basis keilmuan pertanian untuk mengembangkan melalui kerja sama dengan dinas pertanian. Berarti sekarang masalahnya adalah kita mempersiapkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana untuk memanennya (Menjual atau memproduksinya). Jika kita ingin menjualnya, maka yang perlu di perhatikan adalah system distribusinya ke pabrik pengolahan. Jika tidak salah, sawit hanya bertahan 12 jam dalam perjalanan distribusi. Nah, ini yang menjadi masalah. Kita mau membawa kemana?, Jambi? Dengan asumsi dari pelabuhan dabo ke jambi membutuhkan waktu lebih dari 12 jam, maka ini tidak bisa dilakukan. Membawa ke daratan Riau? Kita belum mempunyai akses kesana. Ada dua solusi menurut saya jika ini akan dikembangkan sebagai sector strategis di Singkep. Pertama adalah membuka akses pelayaran baru dari pertanian untuk didistribusikan ke pabrik pengolahan entah ada di Jambi maupun di Daratan Riau dengan jaminan waktu kurang dari 10 jam. Kedua adalah dengan membangun pabrik pengolahan sendiri. Tetapi ini memang membutuhkan investasi yang besar dan harus dijamin ketersediaan sumber bahan mentahnya (pertanian sawit skala besar).

Selain itu kita juga mempunyai alternative sumber pohon kelapa. Tinggal dipikirkan bagaimana mengolah bahan mentah kelapa yang ada di kampung kita untuk diolah menjadi barang setengah jadi. Inilah yang diperlukan untuk studi banding mengenai pengolahan kelapa menjadi produk industry yang bernilai tinggi. Entah dikemas menjadi santan kaleng atau dalam bentuk lainnya. Dinas perdagangan lah yang tepat menangani ini. Mungkin mereka punya data yang cukup lengkap. Selain itu kita juga mempunyai potensi untuk tumbuhan sahang. Tetapi saya tidak berkompeten untuk menjelaskan potensinya secara detail. Yang kita butuhkan adalah mencari celah untuk berubah. Memanfaatkan sedikit potensi SDA yang ada.  

·         SEKTOR PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN INFORMASI

Sektor ini adalah sektor penunjang dan bukan merupakan sektor utamanya. Jadi artinya system ini untuk mensupport sector lainnya mencapai tujuannya. Memang kita membutuhkan uang dalam hal ini, tetapi harus diingat uang yang dikeluarkan harus mempunyai efek yang kuat pada sektor utamanya (berhubungan langsung dengan pembangunan ekonomi).


1.      Perlu sistem logistik barang yang efisien dan murah (Subsidi sistem logistik)

Mengapa harga barang di Jambi lebih murah dibandingkan di Singkep?. Hal ini mudah untuk dijelaskan, karena kita membutuhkan biaya distribusi. Semakin jauh dan sulit terjangkaunya suatu tempat maka semakin mahal biaya distribusinya, dalam hal ini barang kebutuhan pokok misalnya. Disinilah sektor perhubungan perlu menjamin agar supply chain (rantai pasok) barang dari sumber produksi semurah mungkin. Semakin murah biaya operasi untuk sistem distribusi barangnya maka harga jual pun akan semakin murah. Setahu saya singkep mempunyai 2 pintu gerbang dalam memasok barang masuk ke singkep yaitu: pelabuhan BOM dabo singkep yang menghubungkan ke Jambi, dan Pelabuhan di sungai buloh, singkep barat.   
    
Masalah yang saat ini yang mungkin kita bisa perbaiki dalam jangka pendek adalah “Dangkalnya PELABUHAN DABO”. Mengapa ini dikatakan sebagai masalah yang cukup serius, bayangkan saja, jika suatu saat kapal dari Jambi ingin bersandar di pelabuhan dabo sedangkan pada saat itu air laut mengalami surut. Akibatnya kapal tidak bisa berlabuh, pasokan barang terhambat untuk dibongkar. Maka ini akan menambah biaya operasional yang berakibat pada mahalnya harga jual barang yang di pasok, karena penjual mengeluarkan biaya lebih untuk proses bongkar muatnya. Siapa yang menanggung? Maka masyarakat singkep semuanya yang menanggung dengan naiknya harga jual barang yang akan dibeli. Belum lagi banyak faktor faktor lainnya.

Memang saat ini, jika saudara saudara JJS di pelabuhan dabo, maka saat ini sedang diadakan proyek “pemanjangan pelabuhan”. Menurut pandangan saya, proyek ini sangat tidak efektif. Mengapa ini tidak efektif ? Ini merupakan proyek yang sia sia. Karena setiap tahunnya (indikasinya pada saat pulang lebaran) pantai di sekitar pelabuhan mengalami abrasi. Kecepatan abrasinya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Nah, dengan adanya abrasi, maka pasir dari bibir pantai akan terbawa oleh gelombang untuk turun ke laut. Jika tidak ada bebatuan yang merubah pola gelombang ini maka akan terus menerus akan terjadi abrasi. Mengapa sebelumnya masalah ini tidak terjadi? Jawabannya adalah karena hilangnya bebatuan yang diambil oleh masyarakat sekitar untuk mengepulkan asap dapur. Jika masalah ini tidak ditangani dengan tepat, maka sistem distribusi bahan dan pangan akan semakin tidak efektif dan akan mengakibatkan mahalnya harga barang barang di singkep.

Solusi jangka pendek lainnya adalah dengan mensubsidi sistem distribusi barang masuk ke singkep. Subsidi ini bisa secara langsung ataupun tidak. Secara langsung dinas perhubungan mensubsidi biaya operasional untuk kapal dari jambi terutama untuk bahan pokok. Sedangkan secara tidak langsung yaitu dengan mengalihkan subsidi ke perbaikan system pelabuhan. Mendalamkan pelabuhan dan memasang wave breaker (pemecah ombak) untuk mengubah pola gelombang. Jika ada uang lebih, membuat kolam pelabuhan. Pilihan yang terakhir ini memang butuh dana besar untuk berinvestasi. Ini mungkin dilakukan jika arus masuk dan keluar barang sudah benar benar menjadi jantung bisnisnya masyarakat singkep.

Kalau alasanya adalah anggaran yang terbatas, tentu kita bisa berdalih. Selama ini kita mendengar adanya subsidi pesawat terbang untuk melayani rute dabo singkep, nah, apa salahnya mengalihkan subsidi ini untuk mensubsidi system transportasi barang pokok (misalnya kapal jambi). Mungkin masyarakat akan dapat manfaatnya secara langsung. Toh, Yang naik pesawat dari Singkep hanya orang berduit. Berapa anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mensubsidi ini mungkin udah masuk angka miliar. Alangkah bijaknya kalau angka ini dirasakan rakyat sacara merata. Selama ekonomi belum berjalan, subsidi transportasi udara belum saatnya.   

2.      Memperbaiki Sistem Teknologi dan informasi kampung kita (Merubah pola pikir By TRADISI menjadi By Informasi)

Saya mempunyai suatu pandangan, Jika kita menguasai informasi dan komunikasi maka kita sudah berada satu langkah di depan dibandingkan orang lain yang belum menguasai Teknologi informasi. Memang benar sistem informasi sudah ada di Singkep, tetapi yang perlu ditanyakan, apakah sudah efektif? Apakah masyarakat sudah menggunakannya sebagai mana mestinya?. Kita perlu mengevaluasi diri. Menurut pandangan saya, yang menjadi masalah adalah penguasaan Teknologi informasi. Saat ini masyarakat secara umum masih jauh dari hanya sekedar tahu tentang Teknologi dan informasi.    

Keungulan mengetahui informasi akan berdampak positif pada pola pikir masyarakat. Peluang daerah kita untuk maju akan semakin besar. Artinya begini, jika peluang kita untuk mendapatkan informasi sama dengan peluang orang ditanah jawa sama (menggunakan tool yang sama yaitu internet). Dengan mendapat peluang yang sama berarti kita mendapat modal yang juga sama untuk maju dengan mereka. Tinggal bagaimana mengolahnya.

Tetapi semua memang ini butuh proses panjang. Mungkin untuk mudahnya kita ambil studi kasus pentingnya informasi untuk menopang ekonomi keluarga. Sebagai contoh, seorang petani getah ingin mengetahui bagaimana menanam pohon getah yang baik?, berapa jarak antara satu batang getah  dengan pohon lainnya, nah kebutulan sang anak mempunyai sumber informasi dengan mengakses internet kebetulan beliau adalah siswa salah satu SMA di singkep. Nah dengan informasi yang didapat sang anak maka sang bapak mengikuti langkah menanam karet yang didapat dari internet. Hasil yang di dapat adalah, produksi karet meningkat, pohon karet daya tahannya bertambah. Dan, Kesejahteraan keluarga ini akan meningkat dan secara tidak langsung diterapkan oleh satu kampung. Bayangkan saja hanya karena secuil informasi dari sang anak bisa merubah kesejahteraan masyarakat satu kampung. Mungkin singkat katanya, mengubah mindset/pola pikir  “BY TRADISI menjadi BY INFORMASI”.

Tidak mungkinlah orang tua kita yang hanya tamatan SD, SMP maupun tidak sekolah kita ajarkan bagaimana mengakses informasi. Walaupun bisa tapi akan sulit. Tetapi kita bisa mengalihkan kepada anak anak mudanya. Cara yang paling mungkin adalah dengan memanfaatkan media sekolah sebagai “AGENT OF CHANGE” nya, tentunya beberapa sekolah SMA di singkep sudah mempunyai computer yang bisa mengakses internet. Nah, guru yang mengajar mata pelajaran ini hendaknya memacu anak didiknya untuk membiasakan diri agar mengakses informasi terkait dengan kebutuhan informasi sehari hari di lingkungan maupun di keluarganya. Awal awalnya memang perlu dibimbing hingga menjadi kebiasan. Sebagai contoh, anak didik diberikan tugas untuk mencari informasi bagaimana dapat mengakses informasi mengenai beasiswa, dll. Jika ini telah menjadi kebiasaan, maka dengan seiringnya waktu, anak anak sekolah ini setelah lulus akan turun langsung ke masyarakat dan membantu masyarakat menyelesaikan masalahnya dengan fungsi sebagai “DISTRIBUTOR INFORMASI”. Dan masyarakat secara tidak langsung akan terbiasa. Dan semakin hari maka akan semakin banyak masyarakat yang tahu mengakses informasi.  

Peran pemerintah adalah meyuplai atau membantu menyediakan provider untuk mengakses internet. Bahkan jika masyarakat sudah terbiasa dengan akses informasi, saya rasa pusat informasi dan internet kecamatan akan terasa manfaatnya. Tetapi jika system ini belum diterapkan, maka pusat informasi akan menjadi sumber belanja anggaran yang tidak ada hasilnya.

·         SEKTOR KESEHATAN

1.      Subsidi gizi untuk balita kurang mampu (bibit SDM berkualitas)

Mengapa subsidi air susu dan gizi untuk balita sangat menentukan untuk kemajuan daerah kita? Karena inilah bibit bibit penerus generasi kita. Jika bibitnya tumbuh cerdas dan berakhlak, bukan tidak mungkin singkep terkenal dengan anak anaknya yang pintar pintar. Mungkin inilah harapan yang benar benar kita harus investasikan. Inilah bagaimana caranya untuk membentuk SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas untuk mengubah alur pembangunan yang selama ini hanya bergantung pada SDA (Sumber Daya Alam). Bukankah singapura tidak punya SDA? Tapi mengapa mereka bisa maju? Jawabnya sederhana yaitu mereka punya SDM yang berkualitas. Mereka memutar otak untuk memanfaatkan letak geografisnya untuk menjadi perdagangan dunia. Tidak fair kalau kita “mengkambinghitamkan” bahwa mereka punya selat malaka. Karena secara geografis kita lebih dekat (Pulau batam dan pulau sekitarnya). Tetapi fakta di lapangan apakah ekonomi di Pulau sudah sebanding dengan singapura? Tentunya jawab perbandingannya “Apple to Nangke Busuk”. Inilah menunjukkan bahwa SDM yang berkualitas mengalahkan SDA yang melimpah. Itulah mengapa investasi jangka panjang kita jika kita ingin maju adalah investasi pada SUSU dan Gizi balita.

Itulah mengapa harga air susu sapi di eropa sangat murah, 1 liter air susu murni = 5000 rupiah, bandingkan dengan Indonesia, apalagi Singkep.(sebagai bayangan susu murni kalau di Indonesia seperti susu cap beruang Bear brand yang satu kaleng kecil sekitar 0,2 harganya 7.500 rupiah) Di india, malahan disetiap gang gang di sediakan air susu. Inilah strategi mereka untuk menciptakan SDM yang berkualitas.

Tentu apa salahnya kita mencoba menerapkan strategi yang sama. Coba bayangkan saja, satu keluarga yang susah, mempunyai balita, jangankan untuk membeli air susu yang berkualitas untuk anaknya untuk makan sehari hari aja mereka sangat kesusahan. Jika kondisi ini terus berlanjut maka rantai kemiskinan keluarga ini akan berlanjut. Dengan mendapatkan pemberian subsidi gizi pada balita akan menghindarkan dari FENOMENA “orang kaya akan semakin kaya, peluang orang miskin untuk kaya akan tertutup”. Dengan memberikan subsidi gizi balita kurang mampu, maka akan memperbesar peluang merubah tingkat kemiskinan keluarga tersebut. Logikanya begini, jika seorang anak dari kurang mampu tumbuh dengan pemberian gizi yang baik, maka anak ini akan tumbuh cerdas otaknya, kemudian otaknya terus terasah dengan pendidikan yang di dapat saat dia sekolah, kemudian dia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk kuliah ke perguruan tinggi ternama karena kualitas otaknya, kemudian dia merintis kerja sehingga menjadi seorang pengusaha, kemudian dia membangun usahanya di Singkep, dan banyak tenaga kerja yang terserap. Nah, tidak terbayangkan betapa banyaknya manfaat yang di dapatkan dengan subsidi gizi ini. Sudah saatnya kita memikirkan subsidi gizi balita daripada subsidi BBM.


Sedikit kemampuan dan punya keinginan, lebih baik daripada punya kemampuan tetapi tak punya keinginan

  
Salam,
Alyuan Dasira