Oleh: Alyuan Dasira
Dabo Singkep, Kepulauan Riau
Sebagai Negara
kepulauan, Indonesia terdiri dari beribu ribu pulau yang dipisahkan oleh lautan.
Konektivitas atau hubungan antar pulau menjadi bagian penting untuk menentukan pertumbuhan
ekonomi Negara kepulauan. Konektivitas melalui jalur maritim adalah aktor utama
yang mengambil peran penting dalam mengatur lalu lintas barang barang.
Rendahnya konektivitas antar pulau melalui jalur maritim menyebabkan
pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Hal ini dikarenakan perputaran barang dan
jasa menjadi tidak efisien dan menyebabkan tingginya biaya logistik yang
berefek domino pada mahalnya barang barang. Untuk menanggulangi masalah ini
sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan INPRES Nomor 26 Tahun 2013 tentang
Sistem Logistik Nasional (Sislognas) namun sayangnya sistem ini berjalan
lambat. Ditambah lagi, sistem transportasi laut memegang peranan penting dalam sislognas,
berdasarkan hasil survey yang dikeluarkan oleh UNCTAD (United Nations
Conference on Trade and Development) bahwa kontribusi strategis moda
transportasi laut dalam perdagangan dunia mencapai 77%, sedangkan moda
transportasi udara sebesar 0,3%, transportasi darat sebesar 16%, serta
perpipaan 6,7%. Data diatas jelas menunjukkan bahwa sektor transportasi laut
menjadi penopang utama dalam sistem logistik dunia.
Gambar Pulau-Pulau di Indonesia yang membutuhkan konektivitas (source: mytunasbangsa.wordpress.com)
Untuk mempelancar
konektivitas antar pulau, membangun moda transportasi laut yang efisien adalah
kuncinya. Konektivitas berbasis maritim memerlukan kapal kapal yang mempunyai
pola operasional yang optimal, dengan mempertimbangkan biaya operasional yang
murah dan mampu melayani demand dengan tepat waktu. Short sea shipping adalah
pola yang paling tepat dan perlu dioptimalkan, mengingat jarak antar pulau di Indonesia
yang dekat. Selain itu short sea shipping untuk Negara kepulauan seperti
Indonesia membutuhkan armada armada kapal yang relative draftnya kecil,
mengingat masih terbatasnya kedalaman laut dan akses ke pelabuhan pelabuhan
yang ada di pulau pulau. Tipe yang cocok untuk melayani adalah tipe kapal yang
relative kecil dan mempunyai kemampuan maneuver yang tinggi. Oleh karena itu,
pemerintah telah mencanangkan untuk mengimpor kapal dengan kapasitas 3500-5000
dwt dari China dan Myanmar. Kapal kapal yang rencana akan diimpor adalah kapal
yang nantinya digunakan untuk mendukung distribusi logistik seperti gas elpiji,
BBM, Semen, ternak, dan produk produk makanan. Oleh karena itu, Wakil Ketua Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog
mengatakan bahwa Indonesia siap mengimpor 2500 kapal yang mana ditargetkan akan
tercapai dalam 5 tahun kedepan yang artinya setiap tahunnya kita Impor sekitar
500 kapal
Pemerintah berdalih
mengimpor kapal tersebut dengan alasan bahwa galangan dalam negeri tidak mampu
membangun kapal kapasitas tersebut. Impor kapal ini disinyalir akan mampu
menekan biaya logistik di Indonesia sebesar 15%. Kebijakan impor kapal ini
direncanakan pada era Presiden SBY akan tetapi recana itu ditolak oleh
kementrian perindustrian pada waktu itu, dan era pemerintahan saat ini program
tersebut mulai dijalankan. Sebenarnya Apakah galangan dalam negeri memang tidak
sanggup membangun spesifikasi kapal tersebut ataukah ada unsur politis dalam
penentuan kebijakan ini?
Kemampuan galangan
kapal dalam negeri sebenarnya sudah mampu untuk membangun kapal 3500-5000 dwt,
sebagai gambaran kapal kapasitas tersebut rata rata mempunyai ukuran panjang
keseluruhan (LOA) 75-100 meteran. Saat ini Indonesia mempunyai sebanyak 198
galangan kapal. 110 galangan kapal terdapat di pulau Batam, Provinsi Kepulauan
Riau sedangkan sisanya tersebar di luar pulau Batam. 4 galangan diantaranya
terdapat galangan besar punya pemerintah yaitu PT. Industri Kapal Indonesia
(IKI) di Makassar, PT. Dok Kodja Bahari (DKB) di Jakarta, PT. PAL di Surabaya
dan PT. Dok Perkapalan Surabaya (DPS) di Surabaya. Jadi kalau dijumlahkan ada
sekitar 200 galangan kapal nasional. Jika kebutuhan pertahun 500 buah kapal,
dengan rata rata produksi kapal 1 unitnya memerlukan waktu 1 tahun, maka
kebutuhan 500 unit kapal pertahun sangat mungkin bisa terpenuhi. Kemampuan
galangan kapal rata rata mampu membangun kapal lebih dari satu unit
pertahunnya. Sejauh ini, Industri kapal nasional bisa membangun kapal- kapal
jenis tanker berkapasitas 30.000 LDWT dan kapal Anchor handling Tug dan supply
(AHTS), crew boat allumunium dan memiliki fasilitas maintenance atau reparasi
graving dock hingga 150.000 dwt. Dari data dilapangan, Kodja saat ini saja
mampu untuk membangun kapal sampai 50.000 DWT, jadi sebenarnya kemampuan
galangan nasional sudah mampu untuk sekedar membangun kapal kapasitas 3500-5000
dwt, Bahkan galangan kapal di Batam mampu reparasi sampai kapasitas 100.000 GT.
Data ini membantah bahwa paradigm galangan kapal nasional tidak mampu dan sebaliknya
tentu ini akan membangun citra negatif terhadap kemampuan galangan kapal
nasional.
Gambar salah satu fasilitas graving (kapasitas mencapai 50.000 DWT) di dock PT. PAL Surabaya (Source: www.pal.co.id)
Ketua
Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam menyatakan Bukan persoalan
ketidakmampuan membangun kapal, tetapi insentif pemerintah terhadap sektor
usaha ini masih kurang dibandingkan Negara Negara tetangga. Dengan tidaknya
adanya insentif dari pemerintah akan menyebabkan rendahnya daya saing harga
kapal produksi dalam negeri dibandingkan dengan luar negeri. Sebagai referensi
biaya pembuatan kapal di China lebih rendah 17.5 persen dibandingkan Indonesia.
Hal inilah yang mendorong perusahaan pelayaran nasional sebagai konsumen produk
perkapalan untuk membeli kapal Impor dari luar negeri. Ditambah lagi pemerintah
membebaskan PPN bagi impor kapal asing untuk keperluan pelayaran nasional. Hal ini
mengakibatkan rendahnya daya saing dalam hal biaya dari produk galangan dalam
negeri. Kebijakan ini sebenarnya secara tidak langsung menghambat pertumbuhan
galangan kapal dalam negeri karena menyumbat kran masuk proyek proyek pembuatan
kapal pada galangan kapal nasional.
Gambar salah satu galangan di Tanjung Sengkuang, Batam (Source: Dokumentasi Pribadi)
Tingginya biaya
produksi kapal di Indonesia diakibatkan oleh kebijakan fiskal dan moneter yang
sangat memberatkan pelaku usaha galangan kapal. Untuk membangun kapal, pihak
galangan kapal harus membayar biaya impor material dan peralatan sebesar PPN 10%,
tentunya ini akan berpengaruh pada mahalnya harga kapal yang diproduksi.
Kebijakan penghapusan PPN ini saat ini telah dinikmati di galangan pulau Batam,
sehingga boleh dikatakan galangan kapal di Batam lebih kompetitif. Batam yang
mempunyai otorita khusus, mendapatkan angin segar jika pemerintah mengurungkan
niatnya untuk mengimpor kapal dari China. Seperti kita ketahui bahwa saat ini
pulau Batam memiliki 180 galangan kapal yang telah berpengalaman membangun
kapal dan ditopang lagi kebijakan free PPN untuk setiap impor material dan
machinery kapal. Sehingga bisa dipastikan biaya produksi kapal di Batam lebih
rendah dibandingkan dengan di tempat lain sehingga mampu bersaing dengan kapal
kapal impor. Setidaknya batam bisa menjadi rujukan pemerintah dalam menentukan
pola pengembangan galangan kapal di seluruh Indonesia. Dengan mengurungkan niat
untuk memesan kapal impor dari China dan mengalihkannya ke galangan dalam
negeri, selain membuka lapangan kerja juga mempercepat perkembangan galangan
kapal nasional. Saat ini yang dibutuhkan adalah keinginan pemerintah untuk
berpihak dan memikirkan perkembangan industri dalam negeri jangka panjang
dengan berani mengambil kebijakan yang pro industri galangan kapal nasional.
kebijakan impor kapal memang cukup mengganggu iklim industri galangan kapal indonesia, tapi perlu diperhitungkan juga kemampuan galangan kapal kita membuat kapal ferry misalnya dengan kebutuhan yang ada.
BalasHapusIya bro, tapi skrang pemerintah sudah mendata galangan kapal nasional, proyek proyek pembuatan kapal pakai dana APBN di kasi ke galangan kapal nasional.
BalasHapus