Rabu, 17 Juli 2013

Efektifkah Penerapan Teknologi BBG Untuk Kapal Motor Nelayan? Ditinjau Dari Kondisi Nelayan Pesisir

OLEH ALYUAN DASIRA

Dilihat dari sisi geografis, tidak bisa dipungkiri lagi Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan luas lautan hampir 75% dari total keseluruhan luas wilayahnya dengan perairan laut teritorial (3,2 juta km2) terluas di dunia (belum termasuk 2,9 juta km2 perairan zona ekonomi eksklusif, terluas ke-12 di dunia), dan 95.108 km garis pantai yang terpanjang kelima di dunia.
Merujuk dari hal ini, sudah seharusnyalah Indonesia menjadi negara dengan hasil produksi sektor perikanan paling besar dibandingkan dengan negara negara lainnya yang relative mempunyai luas lautnya yang lebih kecil. Akan tetapi, data di lapangan menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara penghasil produk perikanan dengan effektivitas terbesar di kawasan Asia Tenggara. Data SEAFDEC (Fishery statistical bulletin)  pada tahun 2007 menunjukkan bahwa negara seperti Thailand, Vietnam,  serta Malaysia yang masing masing hanya mempunyai luas tangkapan rata rata kurang lebih 25%  dari Indonesia, mampu menghasilkan produksi total perikanan yang mencapai rata rata 50% dari Indonesia. Bahkan lebih parahnya lagi, di Indonesia harga ikan sangat melambung tinggi. Tentunya timbulnya permasalahan ini menyangkut banyak hal yang sangat kompleks, misalnya sistem manajemen pengolahan dan penjualan hasil tangkapan, distribusi hasil tangkapan, mahal dan terbatasnya ketersediaan BBM, bahkan masalah teknologi yang digunakan juga mengambil peranan dalam hal ini.
Dewasa ini, penggunaan perahu motor sudah umum digunakan oleh nelayan tradisional untuk melaut. Hampir semua perahu motor nelayan beralih menggunakan motor diesel ataupun motor gasoline sebagai penggeraknya. Di Indonesia sendiri 60% kapal nelayan menggunakan motor kapal baik in board maupun out board.
Bahan bakar yang digunakan motor diesel adalah BBM jenis Solar sedangkan untuk motor Gasoline adalah Bensin. Dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan BBM sangat terbatas, sehingga menyebabkan harga bahan bakar sangat melambung tinggi. Oleh Karena itu, dengan melambungnya harga BBM, tentu juga biaya operasional nelayan untuk melaut semakin tinggi. Apalagi BBM merupakan komponen terbesar dalam biaya melaut (sekitar 60%).
Di sisi lain, rusaknya ekosistem laut, maraknya penambangan di area pesisir laut, dan pembuangan limbah pabrik ke laut, turut memperburuk kondisi ini. Dengan terganggunya keseimbangan eksosistem ini, maka ikan sangat sulit ditemukan di sekitar pesisir pantai atau tidak jauh dipantai. Untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik, maka nelayan harus memperbarui rute perjalanan dari tempat semula dengan menambah jarak perjalanan. Dengan bertambahnya jarak tempuh nelayan tentu konsumsi bahan bakar yang digunakan oleh motor nelayan juga bertambah.
Hal ini belum lagi jika kita memperhitungkan faktor kualitas hasil tangkapan, Rupiah dari hasil penjualan ikan yang di dapat  juga berhubungan langsung dengan dengan kualitas hasil tangkapan, yang artinya nelayan harus memacu perahu motornya lebih cepat untuk memangkas waktu tempuh  dari Pelabuhan ke tempat tangkapan maupun dari tempat tangkapan ke Pelabuhan. Hal ini dilakukan agar menjaga kualitas ikan hasil tangkapan. 
Kecepatan perahu motor dan konsumsi bahan bakarnya bukan merupakan suatu fungsi linear atau dalam artian sebagai contoh bahwa dengan menambah kecepatan perahu motornya 30%, nelayan harus mengeluarkan satu setengah kali atau bahkan dua kali biaya konsumsi untuk bahan bakarnya. Fungsi ini juga tergantung dari efektifitas perahu, efisiensi sistem propulsi dan Kondisi cuaca di laut. Beberapa faktor inilah yang menjadi kunci mengapa biaya operasional nelayan sangat tinggi dan akhirnya menyebabkan harga ikan dipasaran melambung tinggi dan tak terjangkau.
Di negara negara maju, teknologi kapal nelayan boleh dikatakan sangat maju dan bahkan dewasa ini banyak penelitian terkait mengenai masalah sektor kapal perikanan telah merambah pada lingkup yang lebih jauh, yaitu mengenai efisiensi kapal nelayan.
Di bandingkan dengan Indonesia, kapal nelayan negara negara yang berbasis pada sumber daya maritime sudah maju, dari mulai menggunakan alat tangkap yang canggih sampai menggunakan kapal motor yang memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Sebagai data acuan, negara tetangga Malaysia data tahun 2003 saja menunjukkan hampir 92% menggunakan kapal bermotor. Di Indonesia sendiri sampai saat ini masih banyak nelayan yang masihh menggunakan perahu motor tradisional yang tidak efisien, boros bahan bakar, maupun efisiensi rendah dalam kinerja kapal tersebut. Hal ini dikarenakan tidak banyaknya riset riset yang tertarik pada pengembangan teknologi kapal nelayan, terutama masalah efisiensi. Tentu masalah ini merupakan masalah bersama, yang sudah selayaknya lah kita sadar betul potensi maritim negara kita yang luar biasa melimpahnya. Lebih lebih lagi dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan (DKP) ikut andil untuk menyelesaikan masalah ini.    
Untuk menyelesaikan masalah ini, beberapa solusi telah ditawarkan oleh pemerintah, salah satunya adalah dengan menggunakan motor perahu berbahan bakar gas (BBG). Prinsip penyelesaian masalah dengan BBG adalah cukup sederhana yaitu dengan mengganti ketergantungan nelayan pada BBM dengan BBG. Hal ini didasari pemikiran bahwa ketersediaan BBG lebih banyak dibandingkan dengan BBM. Dengan menggunakan BBG diharapkan mampu menjawab dari permasalahan yang ditimbulkan oleh sulit dan mahalnya harga BBM. Dengan menggunakan BBG diharapkan efisiensi nelayan akan meningkat dan biaya operasional akan ditekan. 
Beberapa sisi positif dan negatif dari penggunaan BBG pada kapal motor nelayan diantaranya  adalah faktor biaya (Cost) dan Biaya Initial atau biaya yang dikeluarkan pada saat awal penggunaan BBG. Memang tidak bisa dipungkiri pada awal awal peralihan penggunaan dari BBM ke BBG butuh biaya, seperti biaya pembelian alat converter, modifikasi system mesin untuk penyesuaian dengan BBG, maupun biaya biaya lainnya yang harus dikeluarkan. Tentu hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit walaupun nantinya biaya operational untuk selanjutnya bisa ditekan dengan penggunaan BBG, tetapi perlu di hitung betul apakah dengan penggunaan BBG ini dapat berdampak positif atau malah sebaliknya, apalagi mengingat kapal motor yang digunakan adalah kapal yang notabenenya telah menggunakan system BBM yang cukup lama. Untuk itu perlu dilakukan riset yang terus menerus untuk pengembangan teknologi ini kedepannya. Faktor keselamatan (Safety), yang menjadi permasalahan adalah apakah BBG ini aman untuk kapal motor nelayan?. Memang banyak mitos menyatakan bahwa dengan menngunakan teknologi BBG tingkat bahaya semakin tinggi, ini tidak benar. Untuk itu perlu adanya transfer pengetahuan yang menyeluruh ke nelayan yang dalam hal ini sebagai pengguna teknologi ini secara langsung. Tidak bisa dipungkiri faktor berkesinambungan (Continuities), artinya apakah pemerintah sudah siap mengaransi bahwa teknologi ini akan terus digunakan dalam jangka waktu yang lama bahkan selamanya?. Hal ini perlu dijawab dengan menjelaskan bahwa teknologi ini telah dipersiapkan dengan matan untuk jangka waktu yang cukup lama, misalnya dengan menyediakan depot teknologi BBG khusus untuk nelayan dari pusat hingga kedaerah daerah, dibuatnya balai penelitian pengembangan teknologi dan konsultasi teknologi ditiap tiap daerah. Selain itu faktor efektivitas kapal motor nelayan juga jadi pertimbangan, apakah dengan menggunakan teknologi BBG akan semakin efektif untuk semua jenis kapal nelayan? Atau kapal nelayan jenis seperti apakah yang cocok menggunakan teknologi BBG ? pertanyaan pertanyaan ini tentunya bukan mudah untuk menjawabnya tanpa didasari oleh pengetahuan teknik dan penelitian yang lebih jauh kedepan.
         Untuk mendukung teknologi ini memberikan kontribusi positif kedepannya, ada beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan.
          Yaitu sosialisasi pemerintah terkait efisiensi (masalah teknik) kapal motor nelayan. Untuk menjawab persoalan ini, maka dinilai perlu adanya kerja sama antara para peneliti di bidang perkapalan dan departemen perikanan itu sendiri. Kedua bidang ini saling membutuhkan, terutama pada sektor perikanan yang sebagai konsumen dari produk perkapalan itu sendiri. Jikalau dianggap perlu, maka dibuatlah lembaga khusus yang menangani tentang riset dan pengembangan kapal nelayan. Mengingat potensi perikanan tangkap sangat besar di Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta di lapangan bahwa selama ini kapal nelayan tradisional di rancang secara turun temurun tanpa ada patokan atau standar yang jelas terutama terkait masalah efisiensi, artinya tidak mudah untuk menentukan kapal dengan tipe tertentu harus menggunakan mesin dengan kapasitas tertentu, dengan menggunakan baling baling jenis tertentu. Hal ini harus didasari pengetahuan yang dalam tentang teknik pembuatan kapal itu sendiri. Walaupun itu dianggap sepele, akan tetapi itu akan berdampak pada penggunaan jangka panjang. Seharusnya DKP selaku  departemen yang membawahi masalah ini mengirimkan stafnya yang mempunyai keahlian khusus di bidangnya untuk mengevaluasi dan bahkan mendampingi nelayan dalam membangun kapal, membuat prosedur, memberikan standar standard dan bahkan melakukan pembimbingan khusus. Agar masalah ini tidak terjadi secara terus menerus.

Selama ini kita terlalu fokus kepada perbaikan tingkat hasil tangkapan dengan memperbaiki alat tangkap dan melupakan faktor efisiensi dari kapal motor nelayan. Padahal dengan memperbaiki tingkat efisiensi kapal motor nelayan, maka kita dapat menekan biaya operasional yang signifikan, dan tentunya kita dapat mencegah ekplorasi hasil perikanan yang berlebihan dengan begitu kita bisa mewarisi kekayaan lautan kita keanak cucu kita nantinya.  Selain itu paradigma  perikanan yang dianggap sepele dan indetik dengan masyarakat kelas harus dirubah. Kita harus membangun paradigma bahwa Indonesia adalah negara maritime, maka Indonesia harus unggul dalam pengembangan teknologi maritime itu sendiri. Paradigma ini harus dibangun sejak dini, sehingga nantinya banyak para peneliti peneliti di universitas yang mengembangkan teknologi tentang kelautan, tidak hanya terbatas pada kapal nelayan saja tetapi lebih luas lagi. Jika kita melihat potensi keuangan yang ada di sektor perikanan ini, maka tidak ada alasan untuk mengabaikan potensi kekayaan ini demi kemajuan bangsa yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar