Dilihat dari
sisi geografis, tidak bisa dipungkiri lagi Indonesia merupakan negara
kepulauan, dengan luas lautan hampir 75% dari total keseluruhan luas wilayahnya
dengan perairan laut teritorial (3,2
juta km2) terluas di dunia (belum termasuk 2,9 juta km2 perairan zona ekonomi
eksklusif, terluas ke-12 di dunia), dan 95.108 km garis pantai yang terpanjang
kelima di dunia.
Merujuk dari
hal ini, sudah seharusnyalah Indonesia menjadi negara dengan hasil produksi sektor
perikanan paling besar dibandingkan dengan negara negara lainnya yang relative
mempunyai luas lautnya yang lebih kecil. Akan tetapi, data di lapangan menunjukkan
bahwa Indonesia bukan negara penghasil produk perikanan dengan effektivitas terbesar
di kawasan Asia Tenggara. Data SEAFDEC
(Fishery statistical bulletin) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa negara
seperti Thailand, Vietnam, serta
Malaysia yang masing masing hanya mempunyai luas tangkapan rata rata kurang lebih
25% dari Indonesia, mampu menghasilkan
produksi total perikanan yang mencapai rata rata 50% dari Indonesia. Bahkan
lebih parahnya lagi, di Indonesia harga ikan sangat melambung tinggi. Tentunya timbulnya
permasalahan ini menyangkut banyak hal yang sangat kompleks, misalnya sistem
manajemen pengolahan dan penjualan hasil tangkapan, distribusi hasil tangkapan,
mahal dan terbatasnya ketersediaan BBM, bahkan masalah teknologi yang digunakan
juga mengambil peranan dalam hal ini.
Dewasa ini,
penggunaan perahu motor sudah umum digunakan oleh nelayan tradisional untuk
melaut. Hampir semua perahu motor nelayan beralih menggunakan motor diesel
ataupun motor gasoline sebagai penggeraknya. Di Indonesia sendiri 60% kapal
nelayan menggunakan motor kapal baik in
board maupun out board.
Bahan bakar
yang digunakan motor diesel adalah BBM jenis Solar sedangkan untuk motor
Gasoline adalah Bensin. Dalam beberapa tahun terakhir, ketersediaan BBM sangat
terbatas, sehingga menyebabkan harga bahan bakar sangat melambung tinggi. Oleh
Karena itu, dengan melambungnya harga BBM, tentu juga biaya operasional nelayan
untuk melaut semakin tinggi. Apalagi BBM merupakan komponen terbesar dalam
biaya melaut (sekitar 60%).
Di sisi
lain, rusaknya ekosistem laut, maraknya penambangan di area pesisir laut, dan
pembuangan limbah pabrik ke laut, turut memperburuk kondisi ini. Dengan
terganggunya keseimbangan eksosistem ini, maka ikan sangat sulit ditemukan di
sekitar pesisir pantai atau tidak jauh dipantai. Untuk mendapatkan hasil
tangkapan yang lebih baik, maka nelayan harus memperbarui rute perjalanan dari
tempat semula dengan menambah jarak perjalanan. Dengan bertambahnya jarak
tempuh nelayan tentu konsumsi bahan bakar yang digunakan oleh motor nelayan
juga bertambah.
Hal ini
belum lagi jika kita memperhitungkan faktor kualitas hasil tangkapan, Rupiah
dari hasil penjualan ikan yang di dapat
juga berhubungan langsung dengan dengan kualitas hasil tangkapan, yang
artinya nelayan harus memacu perahu motornya lebih cepat untuk memangkas waktu
tempuh dari Pelabuhan ke tempat
tangkapan maupun dari tempat tangkapan ke Pelabuhan. Hal ini dilakukan agar menjaga
kualitas ikan hasil tangkapan.
Kecepatan
perahu motor dan konsumsi bahan bakarnya bukan merupakan suatu fungsi linear
atau dalam artian sebagai contoh bahwa dengan menambah kecepatan perahu
motornya 30%, nelayan harus mengeluarkan satu setengah kali atau bahkan dua
kali biaya konsumsi untuk bahan bakarnya. Fungsi ini juga tergantung dari
efektifitas perahu, efisiensi sistem propulsi dan Kondisi cuaca di laut. Beberapa
faktor inilah yang menjadi kunci mengapa biaya operasional nelayan sangat
tinggi dan akhirnya menyebabkan harga ikan dipasaran melambung tinggi dan tak
terjangkau.
Di negara
negara maju, teknologi kapal nelayan boleh dikatakan sangat maju dan bahkan
dewasa ini banyak penelitian terkait mengenai masalah sektor kapal perikanan
telah merambah pada lingkup yang lebih jauh, yaitu mengenai efisiensi kapal
nelayan.
Di
bandingkan dengan Indonesia, kapal nelayan negara negara yang berbasis pada
sumber daya maritime sudah maju, dari mulai menggunakan alat tangkap yang
canggih sampai menggunakan kapal motor yang memiliki tingkat efisiensi yang
sangat tinggi dalam pengoperasiannya. Sebagai data acuan, negara tetangga
Malaysia data tahun 2003 saja menunjukkan hampir 92% menggunakan kapal
bermotor. Di Indonesia sendiri sampai saat ini masih banyak nelayan yang masihh
menggunakan perahu motor tradisional yang tidak efisien, boros bahan bakar,
maupun efisiensi rendah dalam kinerja kapal tersebut. Hal ini dikarenakan tidak
banyaknya riset riset yang tertarik pada pengembangan teknologi kapal nelayan,
terutama masalah efisiensi. Tentu masalah ini merupakan masalah bersama, yang
sudah selayaknya lah kita sadar betul potensi maritim negara kita yang luar
biasa melimpahnya. Lebih lebih lagi dalam hal ini pemerintah yang diwakili oleh
Kementerian Perikanan dan Kelautan (DKP) ikut andil untuk menyelesaikan masalah
ini.
Untuk
menyelesaikan masalah ini, beberapa solusi telah ditawarkan oleh pemerintah, salah
satunya adalah dengan menggunakan motor perahu berbahan bakar gas (BBG).
Prinsip penyelesaian masalah dengan BBG adalah cukup sederhana yaitu dengan
mengganti ketergantungan nelayan pada BBM dengan BBG. Hal ini didasari
pemikiran bahwa ketersediaan BBG lebih banyak dibandingkan dengan BBM. Dengan
menggunakan BBG diharapkan mampu menjawab dari permasalahan yang ditimbulkan
oleh sulit dan mahalnya harga BBM. Dengan menggunakan BBG diharapkan efisiensi
nelayan akan meningkat dan biaya operasional akan ditekan.
Beberapa
sisi positif dan negatif dari penggunaan BBG pada kapal motor nelayan
diantaranya adalah faktor biaya (Cost)
dan Biaya Initial atau biaya yang
dikeluarkan pada saat awal penggunaan BBG. Memang tidak bisa dipungkiri pada
awal awal peralihan penggunaan dari BBM ke BBG butuh biaya, seperti biaya pembelian alat converter, modifikasi system mesin
untuk penyesuaian dengan BBG, maupun biaya biaya lainnya yang harus
dikeluarkan. Tentu hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit walaupun
nantinya biaya operational untuk selanjutnya bisa ditekan dengan penggunaan
BBG, tetapi perlu di hitung betul apakah dengan penggunaan BBG ini dapat
berdampak positif atau malah sebaliknya, apalagi mengingat kapal motor yang
digunakan adalah kapal yang notabenenya telah menggunakan system BBM yang cukup
lama. Untuk itu perlu dilakukan riset yang terus menerus untuk pengembangan
teknologi ini kedepannya. Faktor
keselamatan (Safety), yang menjadi
permasalahan adalah apakah BBG ini aman untuk kapal motor nelayan?. Memang
banyak mitos menyatakan bahwa dengan menngunakan teknologi BBG tingkat bahaya
semakin tinggi, ini tidak benar. Untuk itu perlu adanya transfer pengetahuan
yang menyeluruh ke nelayan yang dalam hal ini sebagai pengguna teknologi ini
secara langsung. Tidak bisa dipungkiri faktor berkesinambungan (Continuities), artinya apakah pemerintah
sudah siap mengaransi bahwa teknologi ini akan terus digunakan dalam jangka
waktu yang lama bahkan selamanya?. Hal ini perlu dijawab dengan menjelaskan
bahwa teknologi ini telah dipersiapkan dengan matan untuk jangka waktu yang
cukup lama, misalnya dengan menyediakan depot teknologi BBG khusus untuk
nelayan dari pusat hingga kedaerah daerah, dibuatnya balai penelitian
pengembangan teknologi dan konsultasi teknologi ditiap tiap daerah. Selain itu
faktor efektivitas kapal motor nelayan juga jadi pertimbangan, apakah dengan
menggunakan teknologi BBG akan semakin efektif untuk semua jenis kapal nelayan?
Atau kapal nelayan jenis seperti apakah yang cocok menggunakan teknologi BBG ?
pertanyaan pertanyaan ini tentunya bukan mudah untuk menjawabnya tanpa didasari
oleh pengetahuan teknik dan penelitian yang lebih jauh kedepan.
Untuk mendukung
teknologi ini memberikan kontribusi positif kedepannya, ada beberapa hal yang
patut menjadi pertimbangan.
Yaitu sosialisasi pemerintah terkait
efisiensi (masalah teknik) kapal motor nelayan. Untuk menjawab persoalan ini,
maka dinilai perlu adanya kerja sama antara para peneliti di bidang perkapalan
dan departemen perikanan itu sendiri. Kedua bidang ini saling membutuhkan,
terutama pada sektor perikanan yang sebagai konsumen dari produk perkapalan itu
sendiri. Jikalau dianggap perlu, maka dibuatlah lembaga khusus yang menangani
tentang riset dan pengembangan kapal nelayan. Mengingat potensi perikanan
tangkap sangat besar di Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta di lapangan bahwa
selama ini kapal nelayan tradisional di rancang secara turun temurun tanpa ada
patokan atau standar yang jelas terutama terkait masalah efisiensi, artinya
tidak mudah untuk menentukan kapal dengan tipe tertentu harus menggunakan mesin
dengan kapasitas tertentu, dengan menggunakan baling baling jenis tertentu. Hal
ini harus didasari pengetahuan yang dalam tentang teknik pembuatan kapal itu
sendiri. Walaupun itu dianggap sepele, akan tetapi itu akan berdampak pada
penggunaan jangka panjang. Seharusnya DKP selaku departemen yang membawahi masalah ini
mengirimkan stafnya yang mempunyai keahlian khusus di bidangnya untuk
mengevaluasi dan bahkan mendampingi nelayan dalam membangun kapal, membuat
prosedur, memberikan standar standard dan bahkan melakukan pembimbingan khusus.
Agar masalah ini tidak terjadi secara terus menerus.
Selama ini
kita terlalu fokus kepada perbaikan tingkat hasil tangkapan dengan memperbaiki
alat tangkap dan melupakan faktor efisiensi dari kapal motor nelayan. Padahal
dengan memperbaiki tingkat efisiensi kapal motor nelayan, maka kita dapat
menekan biaya operasional yang signifikan, dan tentunya kita dapat mencegah
ekplorasi hasil perikanan yang berlebihan dengan begitu kita bisa mewarisi
kekayaan lautan kita keanak cucu kita nantinya. Selain itu paradigma perikanan yang dianggap sepele dan indetik
dengan masyarakat kelas harus dirubah. Kita harus membangun paradigma bahwa
Indonesia adalah negara maritime, maka Indonesia harus unggul dalam
pengembangan teknologi maritime itu sendiri. Paradigma ini harus dibangun sejak
dini, sehingga nantinya banyak para peneliti peneliti di universitas yang
mengembangkan teknologi tentang kelautan, tidak hanya terbatas pada kapal
nelayan saja tetapi lebih luas lagi. Jika kita melihat potensi keuangan yang
ada di sektor perikanan ini, maka tidak ada alasan untuk mengabaikan potensi
kekayaan ini demi kemajuan bangsa yang lebih baik.