Per tanggal 18 oktober
2014 pemerintah resmi menaikkan harga BBM bersubsidi sebanyak Rp 2.000,-, BBM
jenis bensin yang semula harganya Rp. 6.500,- menjadi Rp. 8.500’- dan solar
harganya menjadi Rp. 7.500,-. Menurut
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko
Listyanto, kenaikan tersebut dapat memicu naiknya inflasi. Berkaca pada
pengalaman pemerintahan presiden SBY sebelumnya, kenaikan BBM ini berakibat
pada meningkatnya angka kemiskinan, karena tidak dibarengi dengan peningkatan
pendapatan.
Inflasi ini ditandai
dengan naiknya harga makanan pokok, jasa, transportasi, dan hampir semua aspek
secara kontinu. Naiknya harga harga barang ini akan sangat berdampak besar pada
masyarakat pesisir. Jika di Jakarta atau kota kota besar harga sembako
diperkirakan naik sekitar 30% maka di daerah daerah naiknya sembako tentunya
akan lebih besar lagi. Mengingat pola distribusi dan akses logistik untuk masyarakat
daerah membutuhkan biaya lebih. Apalagi daerah yang letak geografisnya tidak
strategis dalam pola alur distribusi logistik, seperti daerah pesisir yang ada
di Provinsi Kepulauan Riau. Tentunya efek kenaikan BBM ini menjadi momok yang
sangat menakutkan.
Di daerah pesisir yang
notaben penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan,
kenaikan harga BBM sangat memberatkan, ditambah lagi susahnya untuk mendapatkan
pasokan BBM. Untuk melaut saja, mereka harus meronggoh uang lebih dari biasanya
dan itupun belum ada jaminan hasil tangkapan ikan yang didapat lebih banyak
dari sebelumnya. Menaikkan harga jual ikan adalah solusi praktisnya. Akan
tetapi, nelayan tidak bisa menaikkan harga jual yang cukup tinggi untuk
memenuhi biaya operasionalnya, mengingat adanya mekanisme pasar dan ditambah lagi
adanya tengkulak yang nakal. Disisi lain, nelayan harus menanggung beban lebih
besar dengan naiknya harga barang pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagai
memakan buah simalakama, tidak ada pilihan lain bagi nelayan. Jika tidak melaut
pekerjaan tidak ada, jika melaut nelayan harus menanggung resiko rugi jika
hasil tangkapannya tidak memenuhi target.
Gambar 1. Perahu Nelayan Kepulauan Riau
Kembali ke akar
permasalahan ini yaitu naiknya harga BBM, maka langkah terbaik adalah kita
mencari solusi untuk menekan biaya operasional yang berkaitan dengan
meningkatnya harga BBM. Salah satu solusi yang bisa digunakan untuk menekan
biaya operasional nelayan adalah efisiensi penggunaan bahan bakar untuk perahu
motor nelayan. Secara garis besar efisiensi dalam kontek ini diartikan sebagai
perbandingan antara luaran yang dihasilkan (pendapatan) per modal biaya melaut,
artinya semakin banyak uang yang dihasilkan dari menjual ikan dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkan untuk melaut maka semakin besar nilai efisiensinya.
Dalam hal ini, Nelayan tidak bisa berbuat banyak dalam mengatur luaran
(pendapatan) karena telah diatur oleh mekanisme pasar dan ketersediaan ikan
yang semakin hari semakin berkurang. Berkurangnya ketersediaan ikan dipengaruhi
oleh pola penangkapan yang tidak memperhatikan pelestarian serta ditambah lagi
adanya pencurian ikan (Ilegal fishing)
oleh nelayan asing.
Celah yang bisa
dimanfaatkan untuk tetap dapat meningkatkan efisiensi nelayan adalah dengan
menekan biaya operasional semaksimal mungkin. Efisiensi penggunaan bahan bakar
kapal motor nelayan adalah faktor kuncinya.
Jika merujuk pada ilmu
keteknikan bidang Perkapalan, efisiensi kapal dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain desain kapal, pola pengoperasian kapal (operator), dan faktor lingkungan
seperti cuaca, kondisi gelombang, dan lain lain. Faktor faktor ini jugalah yang
menentukan tinggi rendahnya efisiensi perahu nelayan. Selama ini nelayan
membuat perahu dan memilih motornya by
tradisi dan intuisi. Nelayan secara turun temurun membuat kapal hanya
berpatokan pada perahu sebelumnya yang sudah dibuat tanpa mengetahui nilai
efisiensi perahunya. Padahal pembuatan perahu dan pemakaian motor serta
pemilihan jenis penggeraknya (Baling baling) merupakan satu kesatuan sistem
untuk menentukan baik tidaknya efisiensi perahu motor tersebut.
Gamabr 2. Perahu Motor Nelayan Dabo Singkep yang dibuat secara tradisi
Dalam satu
penelitian ilmiah oleh J.M Lauren dan Alyuan D (2014) yang dipublikasikan di 3th
Internasional Simposium on Fishing Vessel
Energy Efficiency di Vigo,
Spanyol, mendapatkan kesimpulan bahwa dengan pemilihan sistem penggerak yang tepat
dengan pola pengoperasian kapalnya dapat meningkatkan efisiensi sebesar 13%.
Artinya biaya operasional bisa dihemat hampir 13% dari biaya normal melaut
sehari hari.
Nelayan memang tidak
mempunyai keahlian khusus dalam mengevaluasi efisiensi perahu motornya secara
ideal hanya berdasarkan data visual. Tetapi sebagai celah untuk menekankan efek
naiknya harga BBM ditanah air ini, sudah selayaknya pemerintah pusat dan daerah
bersinergi untuk memecahkan masalah ini dengan pendekatan yang lebih komprehensif
dan tepat guna. Permasalahan ini adalah tanggung jawab bersama. Adapun sebagai
langkah konkret untuk memecahkan masalah ini ada beberapa peran yang bisa
diambil untuk masing masing stakeholder,
antara lain:
1.
Peran Dinas Kelautan dan Perikanan
Peran Dinas Kelautan
dan Perikanan daerah adalah memberikan penyuluhan kepada nelayan tentang
bagaimana pentingnya efisiensi kapal nelayan untuk menekan biaya
operasionalnya. Dinas ini bisa bekerjasama dengan akademisi akademisi lokal
maupun akademisi dari kampus kampus yang fokus di bidang Perkapalan untuk
mengkaji permasalahan dalam hal teknis dalam pembuatan dan pengoperasian perahu
nelayan. Hasil kajian ini bisa dikemas dalam suatu guidance atau panduan praktis
yang mudah dipahami oleh masyarakat nelayan dan tentunya mudah diaplikasikan. Tentunya
monitoring oleh petugas dinas yang ditunjuk sangat diperlukan untuk menjamin
penerapan pembekalan dan penyuluhan ini. Dinas Kelautan dan Perikanan mengambil
peran sebagai mediator antara akademisi dan nelayan serta sebagai mentor dalam
pelaksanaan kegiatan.
2.
Peran Akademisi Kampus
Akademisi berperan
dalam mengkaji dan mengemas hasil penelitiannya menjadi suatu kemasan praktis
yang akan disampaikan di masyarakat nelayan melalui mediator dinas kelautan dan
perikanan. Bagi akademisi ini menjadi media untuk menjalankan fungsinya sebagai
civitas tridharma perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Sehingga penelitian yang dilakukan lebih tepat guna dan bermanfaat serta bisa
menjadi pemacu untuk pengembangan penelitian yang berkelanjutan. Terutama
penelitian mengenai pengembangan efisiensi perahu motor nelayan, pengembangan
alternative bahan bakar yang murah dan ramah lingkungan, serta penelitian
renewable energy sebagai project skala kecil untuk masyarakat nelayan.
Gambar 3. Baling Baling bersirip hasil Inovasi Dosen Teknik sistem perkapalan ITS Surabaya
3.
Peran Masyarakat nelayan
Masyarakat nelayan disini
berperan sebagai eksekutor sekaligus sebagai objek pada penerapan kebijakan
untuk memecahkan permasalahan. Masyarakat hendaknya berperan proaktif dalam
menyerap masukan masukan yang telah dikemas dalam guidance atau panduan praktis
dalam membangun perahu nelayan, pemilihan mesin dan penggerak, serta pola
pengoperasiannya sehingga pemecahan permasalahan tepat sasaran dan tidak
membuang waktu dan energi.
Nelayan tidak bisa
menghindar dari dampak naiknya harga BBM yang signifikan ini. Namun demikian,
ada celah untuk nelayan bisa menekan tingginya biaya operasional karena dampak
dari kenaikan BBM ini, yaitu dengan meningkatkan efisiensi perahu motor
nelayan. Pemerintah daerah hendaknya menjemput permsalahan yang ada dilapangan
langsung, mengingat sebagian besar masyarakat pesisir bermata pencaharian
sebagai nelayan. Kenaikan BBM ini menjadi pukulan telak ekonomi masyarakat
pesisir jika tidak diimbangi dengan pemasukan pendapatan yang mampu menopang
efek domino ini. Dengan adanya solusi yang sistematis dan berjangka panjang,
penguatan ekonomi masyarakat pesisir akan mulai terbentuk. Dengan kata lain
efisiensi adalah solusinya.
Salam,
Alyuan Dasira