Selasa, 09 Desember 2014

Kebijakan Impor Kapal VS Perkembangan Galangan Kapal Nasional

Oleh: Alyuan Dasira
Dabo Singkep, Kepulauan Riau

Sebagai Negara kepulauan, Indonesia terdiri dari beribu ribu pulau yang dipisahkan oleh lautan. Konektivitas atau hubungan antar pulau menjadi bagian penting untuk menentukan pertumbuhan ekonomi Negara kepulauan. Konektivitas melalui jalur maritim adalah aktor utama yang mengambil peran penting dalam mengatur lalu lintas barang barang. Rendahnya konektivitas antar pulau melalui jalur maritim menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Hal ini dikarenakan perputaran barang dan jasa menjadi tidak efisien dan menyebabkan tingginya biaya logistik yang berefek domino pada mahalnya barang barang. Untuk menanggulangi masalah ini sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan INPRES Nomor 26 Tahun 2013 tentang Sistem Logistik Nasional (Sislognas) namun sayangnya sistem ini berjalan lambat. Ditambah lagi, sistem transportasi laut memegang peranan penting dalam sislognas, berdasarkan hasil survey yang dikeluarkan oleh UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) bahwa kontribusi strategis moda transportasi laut dalam perdagangan dunia mencapai 77%, sedangkan moda transportasi udara sebesar 0,3%, transportasi darat sebesar 16%, serta perpipaan 6,7%. Data diatas jelas menunjukkan bahwa sektor transportasi laut menjadi penopang utama dalam sistem logistik dunia. 
 Gambar Pulau-Pulau di Indonesia yang membutuhkan konektivitas (source: mytunasbangsa.wordpress.com)

Untuk mempelancar konektivitas antar pulau, membangun moda transportasi laut yang efisien adalah kuncinya. Konektivitas berbasis maritim memerlukan kapal kapal yang mempunyai pola operasional yang optimal, dengan mempertimbangkan biaya operasional yang murah dan mampu melayani demand dengan tepat waktu. Short sea shipping adalah pola yang paling tepat dan perlu dioptimalkan, mengingat jarak antar pulau di Indonesia yang dekat. Selain itu short sea shipping untuk Negara kepulauan seperti Indonesia membutuhkan armada armada kapal yang relative draftnya kecil, mengingat masih terbatasnya kedalaman laut dan akses ke pelabuhan pelabuhan yang ada di pulau pulau. Tipe yang cocok untuk melayani adalah tipe kapal yang relative kecil dan mempunyai kemampuan maneuver yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah telah mencanangkan untuk mengimpor kapal dengan kapasitas 3500-5000 dwt dari China dan Myanmar. Kapal kapal yang rencana akan diimpor adalah kapal yang nantinya digunakan untuk mendukung distribusi logistik seperti gas elpiji, BBM, Semen, ternak, dan produk produk makanan. Oleh karena itu, Wakil Ketua Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog  mengatakan bahwa Indonesia siap mengimpor 2500 kapal yang mana ditargetkan akan tercapai dalam 5 tahun kedepan yang artinya setiap tahunnya kita Impor sekitar 500 kapal

Pemerintah berdalih mengimpor kapal tersebut dengan alasan bahwa galangan dalam negeri tidak mampu membangun kapal kapasitas tersebut. Impor kapal ini disinyalir akan mampu menekan biaya logistik di Indonesia sebesar 15%. Kebijakan impor kapal ini direncanakan pada era Presiden SBY akan tetapi recana itu ditolak oleh kementrian perindustrian pada waktu itu, dan era pemerintahan saat ini program tersebut mulai dijalankan. Sebenarnya Apakah galangan dalam negeri memang tidak sanggup membangun spesifikasi kapal tersebut ataukah ada unsur politis dalam penentuan kebijakan ini?

Kemampuan galangan kapal dalam negeri sebenarnya sudah mampu untuk membangun kapal 3500-5000 dwt, sebagai gambaran kapal kapasitas tersebut rata rata mempunyai ukuran panjang keseluruhan (LOA) 75-100 meteran. Saat ini Indonesia mempunyai sebanyak 198 galangan kapal. 110 galangan kapal terdapat di pulau Batam, Provinsi Kepulauan Riau sedangkan sisanya tersebar di luar pulau Batam. 4 galangan diantaranya terdapat galangan besar punya pemerintah yaitu PT. Industri Kapal Indonesia (IKI) di Makassar, PT. Dok Kodja Bahari (DKB) di Jakarta, PT. PAL di Surabaya dan PT. Dok Perkapalan Surabaya (DPS) di Surabaya. Jadi kalau dijumlahkan ada sekitar 200 galangan kapal nasional. Jika kebutuhan pertahun 500 buah kapal, dengan rata rata produksi kapal 1 unitnya memerlukan waktu 1 tahun, maka kebutuhan 500 unit kapal pertahun sangat mungkin bisa terpenuhi. Kemampuan galangan kapal rata rata mampu membangun kapal lebih dari satu unit pertahunnya. Sejauh ini, Industri kapal nasional bisa membangun kapal- kapal jenis tanker berkapasitas 30.000 LDWT dan kapal Anchor handling Tug dan supply (AHTS), crew boat allumunium dan memiliki fasilitas maintenance atau reparasi graving dock hingga 150.000 dwt. Dari data dilapangan, Kodja saat ini saja mampu untuk membangun kapal sampai 50.000 DWT, jadi sebenarnya kemampuan galangan nasional sudah mampu untuk sekedar membangun kapal kapasitas 3500-5000 dwt, Bahkan galangan kapal di Batam mampu reparasi sampai kapasitas 100.000 GT. Data ini membantah bahwa paradigm galangan kapal nasional tidak mampu dan sebaliknya tentu ini akan membangun citra negatif terhadap kemampuan galangan kapal nasional.
Gambar salah satu fasilitas graving (kapasitas mencapai 50.000 DWT) di dock PT. PAL Surabaya (Source: www.pal.co.id

Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam menyatakan Bukan persoalan ketidakmampuan membangun kapal, tetapi insentif pemerintah terhadap sektor usaha ini masih kurang dibandingkan Negara Negara tetangga. Dengan tidaknya adanya insentif dari pemerintah akan menyebabkan rendahnya daya saing harga kapal produksi dalam negeri dibandingkan dengan luar negeri. Sebagai referensi biaya pembuatan kapal di China lebih rendah 17.5 persen dibandingkan Indonesia. Hal inilah yang mendorong perusahaan pelayaran nasional sebagai konsumen produk perkapalan untuk membeli kapal Impor dari luar negeri. Ditambah lagi pemerintah membebaskan PPN bagi impor kapal asing untuk keperluan pelayaran nasional. Hal ini mengakibatkan rendahnya daya saing dalam hal biaya dari produk galangan dalam negeri. Kebijakan ini sebenarnya secara tidak langsung menghambat pertumbuhan galangan kapal dalam negeri karena menyumbat kran masuk proyek proyek pembuatan kapal pada galangan kapal nasional.
Gambar salah satu galangan di Tanjung Sengkuang, Batam (Source: Dokumentasi Pribadi)


Tingginya biaya produksi kapal di Indonesia diakibatkan oleh kebijakan fiskal dan moneter yang sangat memberatkan pelaku usaha galangan kapal. Untuk membangun kapal, pihak galangan kapal harus membayar biaya impor material dan peralatan sebesar PPN 10%, tentunya ini akan berpengaruh pada mahalnya harga kapal yang diproduksi. Kebijakan penghapusan PPN ini saat ini telah dinikmati di galangan pulau Batam, sehingga boleh dikatakan galangan kapal di Batam lebih kompetitif. Batam yang mempunyai otorita khusus, mendapatkan angin segar jika pemerintah mengurungkan niatnya untuk mengimpor kapal dari China. Seperti kita ketahui bahwa saat ini pulau Batam memiliki 180 galangan kapal yang telah berpengalaman membangun kapal dan ditopang lagi kebijakan free PPN untuk setiap impor material dan machinery kapal. Sehingga bisa dipastikan biaya produksi kapal di Batam lebih rendah dibandingkan dengan di tempat lain sehingga mampu bersaing dengan kapal kapal impor. Setidaknya batam bisa menjadi rujukan pemerintah dalam menentukan pola pengembangan galangan kapal di seluruh Indonesia. Dengan mengurungkan niat untuk memesan kapal impor dari China dan mengalihkannya ke galangan dalam negeri, selain membuka lapangan kerja juga mempercepat perkembangan galangan kapal nasional. Saat ini yang dibutuhkan adalah keinginan pemerintah untuk berpihak dan memikirkan perkembangan industri dalam negeri jangka panjang dengan berani mengambil kebijakan yang pro industri galangan kapal nasional.